Senin, 22 September 2014

CERBUNG #5: Beer



Dimas mengenalkan saya pada banyak orang. Fotografer terkenal sampai model papan atas. Nama Dimas sudah dikenal di kalangan banyak model. Meski Dimas belum bisa dikategorikan fotografer papan atas tapi hasil foto Dimas selalu memang perlombaan dan hasil fotonya sering dipajang di majalah. Saya juga baru tahu kalau Dimas sering menjadi fotografer untuk akun instagram fashion lokal.

Hari ini Dimas mengajak saya melihat pameran yang ada di pusat kota. Bukan pameran fotografi melainkan pameran arsitektur. Saya kegirangan. Kali ini saya yang seperti anak kecil di taman bermain. Kalap mau main apa. Saya membiarkan Dimas sibuk mengambil gambar sementara saya tenggelam pada foto-foto dan miniatur-miniatur bangunan.

“Seneng kan?” Dimas tiba-tiba sudah ada di samping saya.

Saya mengangguk.

“Ini tidak gratis loh,” sahut Dimas.

“Gampang.” Mood saya sedang baik. Balas budi beginian ke Dimas sih gampang. Ajak aja makan gudeg favoritnya. Beres.

“Aku gak mau gudeg, Rit.” Dimas seperti bisa membaca pikiran saya.

Ah sial! Anak ini pasti minta yang macam-macam. Saya mana ada duit mau traktir Dimas makan lobster atau sushi.

“Temani aku ngebir.” Raut wajahnya memelas.

Saya tidak pernah ke bar mana pun. Tidak pernah minum alkohol. Hanya anggur perjamuan kudus di Gereja yang pernah saya sentuh lainnya tidak pernah. Anggur perjamuan memangnya beralkohol?
Oh, pernah sekali saya mencoba sesendok vodka. Saat itu masih kelas enam SD. Saya penasaran seperti apa rasanya. Vodka itu punya paman yang sedang berkunjung. Saat merasa aman saya cobailah minuan itu. Dan begitu vodka itu menyentuh lidah saya, lidah saya langsung kebas. Saya meringis dan menyesal. Selama dua hari rasa vodka yang pahit dan getir masih terasa di langit-langit mulut saya. Rasa kebasnya masih dapat dibayangkan hingga sekarang. Saya tidak selera makan selama dua hari. Bagaimana orang-orang bisa suka pada minuman begituan. Saya sih lebih suka susu. Minuman para dewa, kata teman SD saya. Hidup susu!

Saya menyanggupi tapi saya sudah bilang sejak awal saya hanya menemani. Dimas pun setuju. Dia yang pesan tempat dan menjemput saya.

Ibu saya heboh ketika tahu ada lelaki yang datang menjemput saya di malam minggu. Dengan girang Ibu mempersilahkan Dimas masuk ke ruang tamu.

Saya tidak pernah pacaran. Ibu tahu dan percaya itu. Ia malah mencurigai saya kalau saya tidak normal. Kadang terkesan memaksa saya pergi keluar di malam minggu. Saya keluar juga setiap malam minggu tapi sendirian dan itu pun ke Gereja untuk ibadah muda-mudi. Religius sekali ya saya? Malam minggu saja ke Gereja.

Aduh, si Dimas dandan pol-polan. Habislah saya dimarahi karena cuma pakai kaus dan celana belel. Saya sudah bilang Dimas hanya teman. Tapi gaya Dimas juga tidak bisa dipercaya, pakai segala bawa bunga. Pasti Ibu kira itu buat saya padahal itu kan dibeli sendiri buat Dimas sendiri. Dia suka bunga hidup di samping meja kerjanya. Bunga sebiji itu pasti sisa-sisanya.

Selama perjalanan Dimas tidak bisa berhenti tertawa dan berhenti mengejek saya. Jomblo lah. Ngenes lah. Tahulah sendiri kata-kata kejam untuk perempuan yang belum pernah pacaran padahal umurnya sudah dua puluh. Saya hanya bisa manyun.

Konstruksi sosial itu kejam. Kenapa juga seseorang harus pacaran. Kenapa juga seseorang harus menikah. Saya sendiri dan saya nyaman. Orang-orang lah yang terkadang risih dengan kesendirian saya. Padahal saya jarang merongrong minta ditemani. Sendiri bukan nasib saya tapi adalah pilihan. Sudah seharusnya orang-orang menghargai pilihan saya. Tapi kali ini biarlah Dimas bersenang-senang mengejek saya.

Dengan Dimas saya menjelajahi tempat-tempat baru. Termasuk bar. Saya agak mendramatisir awalnya. Beginilah rasanya berada di bar, beginilah bentuknya, beginilah baunya. Saya pikir bar itu sama dengan diskotik. Ternyata ruangannya berbeda. Ruang dugem berada di ground floor. Keadaan bar itu tidak jauh berbeda dari café. Padahal saya sudah membayangkan adegan pelacur-pelacur genit yang menggoda pria hidung belang. Saya belum melihatnya dari tadi.

Dimas memesan segelas bir. Saya dengan minuman yang saya bawa dari rumah. Ibu saya pernah bilang kalau di bar semua minuman itu mengandung alkohol, soda sekalipun. Ibu tidak yakin apakah ada air putih di sana. Ibu tidak pernah masuk bar, katanya. Saya percaya itu.

“Saya mau cerita, Rit,” kata Dimas. Ia meneguk birnya.

Wah, Dimas akan mengakui ke saya kalau dia sebenarnya gay!

“Saya baru putus, ah sepertinya dicampakan,” katanya lagi. Ada kesedihan yang mendalam dari nada Dimas.

Saya hanya diam menunggu Dimas melanjutkan ceritanya.

Dia dan pacarnya sudah tiga tahun bersama bahkan tinggal dalam satu apartemen yang sama. Beberapa bulan lalu pacar Dimas pindah ke Singapur karena urusan pekerjaan. Mereka masih berhubungan seperti biasa. Dua minggu sekali mereka saling bertemu. Kadang Dimas yang berkunjung ke Signapur kadang pacarnya yang datang ke sini.

Dimas tidak merasa ada masalah dalam hubungan mereka. Dua minggu lalu tiba-tiba saja pacarnya minta putus via telepon. Dimas bilang bahwa tidak baik membicarakan hal seperti ini dari telepon. Dimas minta bertemu tapi pacarnya menolak. Katanya tidak mau lihat Dimas lagi.

Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa hari yang lalu Dimas melihat pacaranya sudah jalan dengan orang lain. Tahulah Dimas bahwa memang tidak ada yang salah dengan Dimas. Hanya pacarnya sudah mencintai orang lain. Dimas bilang dia begitu mencintai pacarnya dan menjaga hati untuk pacarnya. Ternyata pacarnya tidak begitu.

Duh, jadi teringat dengan Jimmy.

Ini sudah gelas ke tiga. Setiap tegukan Dimas mengingatkan saya pada rasa vodka yang kebas di lidah itu. Kuat sekali dia minum.

“Pacarmu itu laki-laki atau perempuan?” Berani-beraninya saya bertanya hal ini pada Dimas. Dia yang minum kok saya yang mabuk.

“Yaa laki-lakilah,” sahut Dimas enteng. Seperti sudah sewajarnya dia pacaran dengan laki-laki.

Saya malah kikuk merasa bersalah.

“Oh, ya, kamu belum tahu ya kalau aku gay?” sahutnya lagi sedikit terkekeh.

Aku menggeleng. Maksudnya tidak juga, tapi biarlah Dimas menganggapnya sebagai jawaban tidak.

Previous

CERBUNG #4: Cerita Sang Mantan



Rambutnya dibiarkan gondrong menutupi telinganya. Saya dulu suka bentuk telinga Jimmy. Dan punya kegemaran menyentuh telinganya ketika kami sedang berdua-duaan. Tubuhnya juga makin jangkung. Kulitnya semakin putih. Suaranya semakin berat.

Dulu Jimmy selalu memanggil saya dengan ‘beb’ lafalan dari ‘babe’ singkatan dari ‘baby’. Padahal kami tidak pacaran. Saya sendiri merasa janggal dipanggil begitu. Semasa SMA saya cukup tomboy malah beberapa teman laki-laki saya memanggil saya dengan big boss. Saya lebih suka dipanggil big boss dari pada babe. Babe terkesan kekanakan dan lucu-lucu manja menggemaskan. Saya tidak kekanakan dan bukan perempuan lucu-lucu manja menggemaskan. Tapi Jimmy selalu bilang saya begitu.

Pernah guru bertanya kenapa perempuan kalau pergi ke toilet selalu berdua. Ada yang bilang karena takut hantu atau takut dikerjain laki-laki (baca: diperkosa). Dengan bangga aku bilang aku selalu ke toilet sendiri dari kecil. Teman lelaki saya menyeletuk, “yaialah Rita ke toilet sendiri. Hantu malah takut lihat Rita.” Dan sekelas pun tergelak. Lalu disahut yang lain, “Rita mana bisa diperkosa yang ada Rita yang malah memperkosa.” Saya pun tersenyum kecut.

Begitulah gambaran saya semasa SMA. Tidak cocok sama sekali dipanggil babe, kan? Tapi ‘babe’ sudah sangat akrab di lidah Jimmy. Saya jadi terbiasa. Kini Jimmy memanggil saya dengan nama. Diam-diam saya merindukan panggilan ‘babe’.

Kami tidak pacaran. Sampai sekarang pun tidak. Tapi kami terlanjur dekat dan akrab. Entah pernah atau tidak Jimmy meminta saya menjadi pacar. Seingat saya dia hanya bilang kalau dia sangat menyayangi saya dan saya bilang kalau saya juga. Tapi hanya sampai di situ. Tidak ada namanya pacaran. Aku suka kamu dan kamu suka aku. Titik. Oke. Bahkan setelah itu saya mendengar Jimmy dekat dengan adik kelas. Jimmy tidak pernah cerita apa pun soal perempuan itu pada saya. Saya tentu dekat dengan banyak lelaki tapi semua hanya sebagai teman. Tanpa ada yang tahu Jimmy yang paling dekat di hati saya.

Karena kami sekelas, setiap pagi Jimmy selalu menunggu saya di bangku saya sambil mengerjakan tugas yang ia lalaikan. Saya bukan suka terlambat tapi ada jiwa pemberontak dalam diri saya. Tidak suka dikekang peraturan. Baju saya selalu dimasukan ke dalam rok tapi tanpa dasi dan ikat pinggang. Saya buru-buru memakai atribut jika perlu.

Ketika saya datang dia akan kembali ke tempat duduknya. Selalu begitu sampai suatu ketika dia duduk di sebelah saya karena minta diajarkan fisika. Saya suka fisika dan cukup baik di bidang fisika. Saya rasa satu sekolah tahu itu. Begitu dia duduk di sebelah saya, jantung saya berdebar kencang dan nafas saya menjadi tidak teratur. Sangkin kencangnya saya takut Jimmy mendengar detak jantung saya. Saya bisa merasakan hembusan nafasnya ketika berbicara di pipi saya dan rasanya otak saya menjadi kacau. Soal sederhana fisika mengenai termodinamika menjadi sulit. Bicara saya jadi terbata-bata. Saya akhirnya menyerah dan bilang tidak tahu. Lalu buru-buru keluar untuk mengatur nafas.

Saya masih sangat muda saat itu. Masih labil. Bahkan nafasnya saja bisa begitu menggairahkan. Saya jadi selalu berdebar kalau Jimmy dekat-dekat saya.

Dia orang yang usil dan penuh kejutan. Saat itu di kelas hanya ada saya dan Jimmy. Tiba-tiba Jimmy menghampiri, memeluk saya dari belakang, dan mengacak-acak rambut saya. Saya berlagak kesal padahal sangat suka dibegitukan.

Kadang saya kesal karena Jimmy cuek di depan teman-teman sekelas dan mendadak romantis jika sedang berdua. Pernah dia ke rumah saya begitu tahu saya jatuh dari motor. Dia membawa susu, bubur, dan buah-buahan. Padahal saya kan jatuh dari motor bukan kena tifus. Saat di sekolahan dia malah membiarkan saya membawa bangku sendirian ke lapangan. Padahal jalan saya masih pincang. Rusak sudah adegan romantis di benak saya.

Jimmy tanya apakah saya punya pacar atau tidak. Saya bilang belum. Belum perlu maksudnya. Saya bertanya balik padanya dan Jimmy bilang bahwa ia baru saja putus seminggu yang lalu.

“Aku kangen kamu loh, Rit.”

Saya manggut-manggut saja.

“Kamu tidak kangen aku?” tanyanya lagi.

Saya menatap Jimmy lama. Tidakkah dia tahu saya pernah sangat menyukainya dan tidak punya alasan untuk membencinya. Meskipun perpisahan kami buruk. Buruk bagi saya. Tidak tahu bagi Jimmy.

Saya dan Jimmy saling suka, saling sayang. Masih tetap bukan pacar. Tapi saya suka mengaku sudah punya pacar pada lelaki yang mengejar saya tanpa memberi tahu siapa hanya otak saya selalu terlintas namanya ketika itu. Saya setia padanya, menjaga hati saya untuknya. Saya kira dia begitu. Ternyata tidak.

Awal kuliah semester satu ia mengenalkan pacarnya yang tidak sengaja bertemu di bioskop. Saya saat itu masih suka nonton bioskop sendiri. Jimmy selalu menolak diajak menonton. Katanya tidak suka. Tapi dia pergi dengan perempuan lain ke bioskop!

Saya merasa dikhianati sekaligus malu karena merasa begitu. Saya frustasi. Mungkin selama ini saya yang menganggap berlebihan perlakuan Jimmy. Jimmy mungkin menganggapnya biasa. Saya menelaah dimana saya mulai merasa berlebihan. Tapi semakin saya berusaha mencari malah saya semakin merasa kehilangan. Kehilangan harga diri.

Pacarnya berperawakan yang cocok dipanggil babe. Saya big boss. Saya nonton film aksi sambil menangis. Mereka berdua mungkin sedang menonton film horror sambil bermesraan.

Jimmy masih suka menelepon saya dan saya menjawab dengan nada dingin. Membalas bbm dia seperlunya. Mengaku tidak di rumah ketika Jimmy hendak berkunjung. Saya harap dia peka mengapa saya menjauh. Dia pun menjauh.

Itulah terakhir kali saya bertemu dengan Jimmy. Sahabat ‘dekat’ saya. Mantan calon pacar.

Saya mengaku saja kalau saya kangen dia, tapi dulu. Semenjak ada Dimas, Singgih, dan teman-temannya, saya telah melupakan Jimmy. Menjadikan dia kenangan indah masa SMA. Memaafkan waktu-waktu itu. Tidak ada yang perlu dimaafkan dari Jimmy.

Yang saya suka dari dia adalah dia membiarkan saya bercerita. Saya sangat suka bercerita dan Jimmy pendengar yang baik. Saya bisa bicara ngalur-ngidul tidak jelas selama beberapa jam dan dia bersikap biasa saja. Teman-teman kuliah saya suka jengkel kalau saya sudah tidak bisa berhenti berbicara. Saya jadi lebih pendiam di kampus. Pada Dimas dan Singgih saya masih penasaran dengan mereka dan membiarkan mereka bercerita sepuasanya.

Pada Jimmy saya punya satu kebebasan menjadi diri saya. Saya tidak takut dibilang tidak intelek. Bagi Jimmy orang yang bisa eksakta adalah orang yang jenius. Saya selalu si jenius untuk Jimmy. Saya tidak takut dibilang tidak cantik. Bagi Jimmy saya selalu lucu dan menggemaskan. Bahkan dia pernah mengejek saya karena saya berdandan lengkap untuk pensi sekolah. Mati-matian dia bilang saya jelek dan tidak pantas pakai riasan begitu. Saya kecewa sebentar. Saya juga sadar meskipun saya terlihat cantik tapi saya tidak nyaman dengan semua itu. Dan Jimmy bisa melihatnya dan menjabarkannya meski dengan cara yang kurang tepat.

Saya sangat senang bertemu Jimmy hari itu. Dia banyak berubah secara penampilan dan perilaku. Dia lebih mature. Saya suka suara beratnya ketika terawa. Dia dengan rasa yang berbeda. Dulu dan sekarang saya selalu suka dia. Dulu dan sekarang saya tidak punya alasan untuk membenci Jimmy.

Next
Previous