Dimas mengenalkan saya pada banyak orang. Fotografer
terkenal sampai model papan atas. Nama Dimas sudah dikenal di kalangan banyak
model. Meski Dimas belum bisa dikategorikan fotografer papan atas tapi hasil
foto Dimas selalu memang perlombaan dan hasil fotonya sering dipajang di
majalah. Saya juga baru tahu kalau Dimas sering menjadi fotografer untuk akun
instagram fashion lokal.
Hari ini Dimas mengajak saya melihat pameran yang
ada di pusat kota. Bukan pameran fotografi melainkan pameran arsitektur. Saya
kegirangan. Kali ini saya yang seperti anak kecil di taman bermain. Kalap mau
main apa. Saya membiarkan Dimas sibuk mengambil gambar sementara saya tenggelam
pada foto-foto dan miniatur-miniatur bangunan.
“Seneng kan?” Dimas tiba-tiba sudah ada di samping
saya.
Saya mengangguk.
“Ini tidak gratis loh,” sahut Dimas.
“Gampang.” Mood saya sedang baik. Balas budi
beginian ke Dimas sih gampang. Ajak aja makan gudeg favoritnya. Beres.
“Aku gak mau gudeg, Rit.” Dimas seperti bisa membaca
pikiran saya.
Ah sial! Anak ini pasti minta yang macam-macam. Saya
mana ada duit mau traktir Dimas makan lobster atau sushi.
“Temani aku ngebir.” Raut wajahnya memelas.
Saya tidak pernah ke bar mana pun. Tidak pernah
minum alkohol. Hanya anggur perjamuan kudus di Gereja yang pernah saya sentuh
lainnya tidak pernah. Anggur perjamuan memangnya beralkohol?
Oh, pernah sekali saya mencoba sesendok vodka. Saat
itu masih kelas enam SD. Saya penasaran seperti apa rasanya. Vodka itu punya paman
yang sedang berkunjung. Saat merasa aman saya cobailah minuan itu. Dan begitu
vodka itu menyentuh lidah saya, lidah saya langsung kebas. Saya meringis dan
menyesal. Selama dua hari rasa vodka yang pahit dan getir masih terasa di
langit-langit mulut saya. Rasa kebasnya masih dapat dibayangkan hingga
sekarang. Saya tidak selera makan selama dua hari. Bagaimana orang-orang bisa
suka pada minuman begituan. Saya sih lebih suka susu. Minuman para dewa, kata
teman SD saya. Hidup susu!
Saya menyanggupi tapi saya sudah bilang sejak awal
saya hanya menemani. Dimas pun setuju. Dia yang pesan tempat dan menjemput
saya.
Ibu saya heboh ketika tahu ada lelaki yang datang
menjemput saya di malam minggu. Dengan girang Ibu mempersilahkan Dimas masuk ke
ruang tamu.
Saya tidak pernah pacaran. Ibu tahu dan percaya itu.
Ia malah mencurigai saya kalau saya tidak normal. Kadang terkesan memaksa saya
pergi keluar di malam minggu. Saya keluar juga setiap malam minggu tapi
sendirian dan itu pun ke Gereja untuk ibadah muda-mudi. Religius sekali ya
saya? Malam minggu saja ke Gereja.
Aduh, si Dimas dandan pol-polan. Habislah saya
dimarahi karena cuma pakai kaus dan celana belel. Saya sudah bilang Dimas hanya
teman. Tapi gaya Dimas juga tidak bisa dipercaya, pakai segala bawa bunga.
Pasti Ibu kira itu buat saya padahal itu kan dibeli sendiri buat Dimas sendiri.
Dia suka bunga hidup di samping meja kerjanya. Bunga sebiji itu pasti
sisa-sisanya.
Selama perjalanan Dimas tidak bisa berhenti tertawa
dan berhenti mengejek saya. Jomblo lah. Ngenes lah. Tahulah sendiri kata-kata kejam
untuk perempuan yang belum pernah pacaran padahal umurnya sudah dua puluh. Saya
hanya bisa manyun.
Konstruksi sosial itu kejam. Kenapa juga seseorang
harus pacaran. Kenapa juga seseorang harus menikah. Saya sendiri dan saya
nyaman. Orang-orang lah yang terkadang risih dengan kesendirian saya. Padahal
saya jarang merongrong minta ditemani. Sendiri bukan nasib saya tapi adalah
pilihan. Sudah seharusnya orang-orang menghargai pilihan saya. Tapi kali ini
biarlah Dimas bersenang-senang mengejek saya.
Dengan Dimas saya menjelajahi tempat-tempat baru.
Termasuk bar. Saya agak mendramatisir awalnya. Beginilah rasanya berada di bar,
beginilah bentuknya, beginilah baunya. Saya pikir bar itu sama dengan diskotik.
Ternyata ruangannya berbeda. Ruang dugem berada di ground floor. Keadaan bar itu tidak jauh berbeda dari café. Padahal
saya sudah membayangkan adegan pelacur-pelacur genit yang menggoda pria hidung
belang. Saya belum melihatnya dari tadi.
Dimas memesan segelas bir. Saya dengan minuman yang
saya bawa dari rumah. Ibu saya pernah bilang kalau di bar semua minuman itu
mengandung alkohol, soda sekalipun. Ibu tidak yakin apakah ada air putih di
sana. Ibu tidak pernah masuk bar, katanya. Saya percaya itu.
“Saya mau cerita, Rit,” kata Dimas. Ia meneguk
birnya.
Wah, Dimas akan mengakui ke saya kalau dia
sebenarnya gay!
“Saya baru putus, ah sepertinya dicampakan,” katanya
lagi. Ada kesedihan yang mendalam dari nada Dimas.
Saya hanya diam menunggu Dimas melanjutkan
ceritanya.
Dia dan pacarnya sudah tiga tahun bersama bahkan
tinggal dalam satu apartemen yang sama. Beberapa bulan lalu pacar Dimas pindah
ke Singapur karena urusan pekerjaan. Mereka masih berhubungan seperti biasa.
Dua minggu sekali mereka saling bertemu. Kadang Dimas yang berkunjung ke
Signapur kadang pacarnya yang datang ke sini.
Dimas tidak merasa ada masalah dalam hubungan
mereka. Dua minggu lalu tiba-tiba saja pacarnya minta putus via telepon. Dimas
bilang bahwa tidak baik membicarakan hal seperti ini dari telepon. Dimas minta
bertemu tapi pacarnya menolak. Katanya tidak mau lihat Dimas lagi.
Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa hari yang lalu
Dimas melihat pacaranya sudah jalan dengan orang lain. Tahulah Dimas bahwa
memang tidak ada yang salah dengan Dimas. Hanya pacarnya sudah mencintai orang
lain. Dimas bilang dia begitu mencintai pacarnya dan menjaga hati untuk
pacarnya. Ternyata pacarnya tidak begitu.
Duh, jadi teringat dengan Jimmy.
Ini sudah gelas ke tiga. Setiap tegukan Dimas
mengingatkan saya pada rasa vodka yang kebas di lidah itu. Kuat sekali dia
minum.
“Pacarmu itu laki-laki atau perempuan?”
Berani-beraninya saya bertanya hal ini pada Dimas. Dia yang minum kok saya yang
mabuk.
“Yaa laki-lakilah,” sahut Dimas enteng. Seperti
sudah sewajarnya dia pacaran dengan laki-laki.
Saya malah kikuk merasa bersalah.
“Oh, ya, kamu belum tahu ya kalau aku gay?” sahutnya
lagi sedikit terkekeh.
Aku menggeleng. Maksudnya tidak juga, tapi biarlah
Dimas menganggapnya sebagai jawaban tidak.
Previous
Previous
wah, bisa bantu" tugas konsep visual nih haha
BalasHapusboleh banget nis
Hapus