Rambutnya dibiarkan gondrong menutupi telinganya.
Saya dulu suka bentuk telinga Jimmy. Dan punya kegemaran menyentuh telinganya
ketika kami sedang berdua-duaan. Tubuhnya juga makin jangkung. Kulitnya semakin
putih. Suaranya semakin berat.
Dulu Jimmy selalu memanggil saya dengan ‘beb’
lafalan dari ‘babe’ singkatan dari ‘baby’. Padahal kami tidak pacaran. Saya sendiri
merasa janggal dipanggil begitu. Semasa SMA saya cukup tomboy malah beberapa
teman laki-laki saya memanggil saya dengan big
boss. Saya lebih suka dipanggil big
boss dari pada babe. Babe terkesan kekanakan dan lucu-lucu
manja menggemaskan. Saya tidak kekanakan dan bukan perempuan lucu-lucu manja
menggemaskan. Tapi Jimmy selalu bilang saya begitu.
Pernah guru bertanya kenapa perempuan kalau pergi ke
toilet selalu berdua. Ada yang bilang karena takut hantu atau takut dikerjain
laki-laki (baca: diperkosa). Dengan bangga aku bilang aku selalu ke toilet
sendiri dari kecil. Teman lelaki saya menyeletuk, “yaialah Rita ke toilet
sendiri. Hantu malah takut lihat Rita.” Dan sekelas pun tergelak. Lalu disahut
yang lain, “Rita mana bisa diperkosa yang ada Rita yang malah memperkosa.” Saya
pun tersenyum kecut.
Begitulah gambaran saya semasa SMA. Tidak cocok sama
sekali dipanggil babe, kan? Tapi
‘babe’ sudah sangat akrab di lidah Jimmy. Saya jadi terbiasa. Kini Jimmy
memanggil saya dengan nama. Diam-diam saya merindukan panggilan ‘babe’.
Kami tidak pacaran. Sampai sekarang pun tidak. Tapi
kami terlanjur dekat dan akrab. Entah pernah atau tidak Jimmy meminta saya
menjadi pacar. Seingat saya dia hanya bilang kalau dia sangat menyayangi saya
dan saya bilang kalau saya juga. Tapi hanya sampai di situ. Tidak ada namanya
pacaran. Aku suka kamu dan kamu suka aku. Titik. Oke. Bahkan setelah itu saya
mendengar Jimmy dekat dengan adik kelas. Jimmy tidak pernah cerita apa pun soal
perempuan itu pada saya. Saya tentu dekat dengan banyak lelaki tapi semua hanya
sebagai teman. Tanpa ada yang tahu Jimmy yang paling dekat di hati saya.
Karena kami sekelas, setiap pagi Jimmy selalu
menunggu saya di bangku saya sambil mengerjakan tugas yang ia lalaikan. Saya
bukan suka terlambat tapi ada jiwa pemberontak dalam diri saya. Tidak suka
dikekang peraturan. Baju saya selalu dimasukan ke dalam rok tapi tanpa dasi dan
ikat pinggang. Saya buru-buru memakai atribut jika perlu.
Ketika saya datang dia akan kembali ke tempat
duduknya. Selalu begitu sampai suatu ketika dia duduk di sebelah saya karena
minta diajarkan fisika. Saya suka fisika dan cukup baik di bidang fisika. Saya
rasa satu sekolah tahu itu. Begitu dia duduk di sebelah saya, jantung saya
berdebar kencang dan nafas saya menjadi tidak teratur. Sangkin kencangnya saya
takut Jimmy mendengar detak jantung saya. Saya bisa merasakan hembusan nafasnya
ketika berbicara di pipi saya dan rasanya otak saya menjadi kacau. Soal
sederhana fisika mengenai termodinamika menjadi sulit. Bicara saya jadi
terbata-bata. Saya akhirnya menyerah dan bilang tidak tahu. Lalu buru-buru
keluar untuk mengatur nafas.
Saya masih sangat muda saat itu. Masih labil. Bahkan
nafasnya saja bisa begitu menggairahkan. Saya jadi selalu berdebar kalau Jimmy
dekat-dekat saya.
Dia orang yang usil dan penuh kejutan. Saat itu di
kelas hanya ada saya dan Jimmy. Tiba-tiba Jimmy menghampiri, memeluk saya dari
belakang, dan mengacak-acak rambut saya. Saya berlagak kesal padahal sangat
suka dibegitukan.
Kadang saya kesal karena Jimmy cuek di depan
teman-teman sekelas dan mendadak romantis jika sedang berdua. Pernah dia ke
rumah saya begitu tahu saya jatuh dari motor. Dia membawa susu, bubur, dan
buah-buahan. Padahal saya kan jatuh dari motor bukan kena tifus. Saat di sekolahan
dia malah membiarkan saya membawa bangku sendirian ke lapangan. Padahal jalan
saya masih pincang. Rusak sudah adegan romantis di benak saya.
Jimmy tanya apakah saya punya pacar atau tidak. Saya
bilang belum. Belum perlu maksudnya. Saya bertanya balik padanya dan Jimmy
bilang bahwa ia baru saja putus seminggu yang lalu.
“Aku kangen kamu loh, Rit.”
Saya manggut-manggut saja.
“Kamu tidak kangen aku?” tanyanya lagi.
Saya menatap Jimmy lama. Tidakkah dia tahu saya
pernah sangat menyukainya dan tidak punya alasan untuk membencinya. Meskipun
perpisahan kami buruk. Buruk bagi saya. Tidak tahu bagi Jimmy.
Saya dan Jimmy saling suka, saling sayang. Masih
tetap bukan pacar. Tapi saya suka mengaku sudah punya pacar pada lelaki yang
mengejar saya tanpa memberi tahu siapa hanya otak saya selalu terlintas namanya
ketika itu. Saya setia padanya, menjaga hati saya untuknya. Saya kira dia begitu.
Ternyata tidak.
Awal kuliah semester satu ia mengenalkan pacarnya
yang tidak sengaja bertemu di bioskop. Saya saat itu masih suka nonton bioskop
sendiri. Jimmy selalu menolak diajak menonton. Katanya tidak suka. Tapi dia
pergi dengan perempuan lain ke bioskop!
Saya merasa dikhianati sekaligus malu karena merasa
begitu. Saya frustasi. Mungkin selama ini saya yang menganggap berlebihan
perlakuan Jimmy. Jimmy mungkin menganggapnya biasa. Saya menelaah dimana saya
mulai merasa berlebihan. Tapi semakin saya berusaha mencari malah saya semakin
merasa kehilangan. Kehilangan harga diri.
Pacarnya berperawakan yang cocok dipanggil babe. Saya big boss. Saya nonton film aksi sambil menangis. Mereka berdua
mungkin sedang menonton film horror sambil bermesraan.
Jimmy masih suka menelepon saya dan saya menjawab
dengan nada dingin. Membalas bbm dia seperlunya. Mengaku tidak di rumah ketika
Jimmy hendak berkunjung. Saya harap dia peka mengapa saya menjauh. Dia pun
menjauh.
Itulah terakhir kali saya bertemu dengan Jimmy.
Sahabat ‘dekat’ saya. Mantan calon pacar.
Saya mengaku saja kalau saya kangen dia, tapi dulu. Semenjak
ada Dimas, Singgih, dan teman-temannya, saya telah melupakan Jimmy. Menjadikan
dia kenangan indah masa SMA. Memaafkan waktu-waktu itu. Tidak ada yang perlu dimaafkan
dari Jimmy.
Yang saya suka dari dia adalah dia membiarkan saya
bercerita. Saya sangat suka bercerita dan Jimmy pendengar yang baik. Saya bisa
bicara ngalur-ngidul tidak jelas selama beberapa jam dan dia bersikap biasa
saja. Teman-teman kuliah saya suka jengkel kalau saya sudah tidak bisa berhenti
berbicara. Saya jadi lebih pendiam di kampus. Pada Dimas dan Singgih saya masih
penasaran dengan mereka dan membiarkan mereka bercerita sepuasanya.
Pada Jimmy saya punya satu kebebasan menjadi diri
saya. Saya tidak takut dibilang tidak intelek. Bagi Jimmy orang yang bisa
eksakta adalah orang yang jenius. Saya selalu si jenius untuk Jimmy. Saya tidak
takut dibilang tidak cantik. Bagi Jimmy saya selalu lucu dan menggemaskan.
Bahkan dia pernah mengejek saya karena saya berdandan lengkap untuk pensi
sekolah. Mati-matian dia bilang saya jelek dan tidak pantas pakai riasan
begitu. Saya kecewa sebentar. Saya juga sadar meskipun saya terlihat cantik
tapi saya tidak nyaman dengan semua itu. Dan Jimmy bisa melihatnya dan
menjabarkannya meski dengan cara yang kurang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar