Senin, 22 September 2014

CERBUNG #4: Cerita Sang Mantan



Rambutnya dibiarkan gondrong menutupi telinganya. Saya dulu suka bentuk telinga Jimmy. Dan punya kegemaran menyentuh telinganya ketika kami sedang berdua-duaan. Tubuhnya juga makin jangkung. Kulitnya semakin putih. Suaranya semakin berat.

Dulu Jimmy selalu memanggil saya dengan ‘beb’ lafalan dari ‘babe’ singkatan dari ‘baby’. Padahal kami tidak pacaran. Saya sendiri merasa janggal dipanggil begitu. Semasa SMA saya cukup tomboy malah beberapa teman laki-laki saya memanggil saya dengan big boss. Saya lebih suka dipanggil big boss dari pada babe. Babe terkesan kekanakan dan lucu-lucu manja menggemaskan. Saya tidak kekanakan dan bukan perempuan lucu-lucu manja menggemaskan. Tapi Jimmy selalu bilang saya begitu.

Pernah guru bertanya kenapa perempuan kalau pergi ke toilet selalu berdua. Ada yang bilang karena takut hantu atau takut dikerjain laki-laki (baca: diperkosa). Dengan bangga aku bilang aku selalu ke toilet sendiri dari kecil. Teman lelaki saya menyeletuk, “yaialah Rita ke toilet sendiri. Hantu malah takut lihat Rita.” Dan sekelas pun tergelak. Lalu disahut yang lain, “Rita mana bisa diperkosa yang ada Rita yang malah memperkosa.” Saya pun tersenyum kecut.

Begitulah gambaran saya semasa SMA. Tidak cocok sama sekali dipanggil babe, kan? Tapi ‘babe’ sudah sangat akrab di lidah Jimmy. Saya jadi terbiasa. Kini Jimmy memanggil saya dengan nama. Diam-diam saya merindukan panggilan ‘babe’.

Kami tidak pacaran. Sampai sekarang pun tidak. Tapi kami terlanjur dekat dan akrab. Entah pernah atau tidak Jimmy meminta saya menjadi pacar. Seingat saya dia hanya bilang kalau dia sangat menyayangi saya dan saya bilang kalau saya juga. Tapi hanya sampai di situ. Tidak ada namanya pacaran. Aku suka kamu dan kamu suka aku. Titik. Oke. Bahkan setelah itu saya mendengar Jimmy dekat dengan adik kelas. Jimmy tidak pernah cerita apa pun soal perempuan itu pada saya. Saya tentu dekat dengan banyak lelaki tapi semua hanya sebagai teman. Tanpa ada yang tahu Jimmy yang paling dekat di hati saya.

Karena kami sekelas, setiap pagi Jimmy selalu menunggu saya di bangku saya sambil mengerjakan tugas yang ia lalaikan. Saya bukan suka terlambat tapi ada jiwa pemberontak dalam diri saya. Tidak suka dikekang peraturan. Baju saya selalu dimasukan ke dalam rok tapi tanpa dasi dan ikat pinggang. Saya buru-buru memakai atribut jika perlu.

Ketika saya datang dia akan kembali ke tempat duduknya. Selalu begitu sampai suatu ketika dia duduk di sebelah saya karena minta diajarkan fisika. Saya suka fisika dan cukup baik di bidang fisika. Saya rasa satu sekolah tahu itu. Begitu dia duduk di sebelah saya, jantung saya berdebar kencang dan nafas saya menjadi tidak teratur. Sangkin kencangnya saya takut Jimmy mendengar detak jantung saya. Saya bisa merasakan hembusan nafasnya ketika berbicara di pipi saya dan rasanya otak saya menjadi kacau. Soal sederhana fisika mengenai termodinamika menjadi sulit. Bicara saya jadi terbata-bata. Saya akhirnya menyerah dan bilang tidak tahu. Lalu buru-buru keluar untuk mengatur nafas.

Saya masih sangat muda saat itu. Masih labil. Bahkan nafasnya saja bisa begitu menggairahkan. Saya jadi selalu berdebar kalau Jimmy dekat-dekat saya.

Dia orang yang usil dan penuh kejutan. Saat itu di kelas hanya ada saya dan Jimmy. Tiba-tiba Jimmy menghampiri, memeluk saya dari belakang, dan mengacak-acak rambut saya. Saya berlagak kesal padahal sangat suka dibegitukan.

Kadang saya kesal karena Jimmy cuek di depan teman-teman sekelas dan mendadak romantis jika sedang berdua. Pernah dia ke rumah saya begitu tahu saya jatuh dari motor. Dia membawa susu, bubur, dan buah-buahan. Padahal saya kan jatuh dari motor bukan kena tifus. Saat di sekolahan dia malah membiarkan saya membawa bangku sendirian ke lapangan. Padahal jalan saya masih pincang. Rusak sudah adegan romantis di benak saya.

Jimmy tanya apakah saya punya pacar atau tidak. Saya bilang belum. Belum perlu maksudnya. Saya bertanya balik padanya dan Jimmy bilang bahwa ia baru saja putus seminggu yang lalu.

“Aku kangen kamu loh, Rit.”

Saya manggut-manggut saja.

“Kamu tidak kangen aku?” tanyanya lagi.

Saya menatap Jimmy lama. Tidakkah dia tahu saya pernah sangat menyukainya dan tidak punya alasan untuk membencinya. Meskipun perpisahan kami buruk. Buruk bagi saya. Tidak tahu bagi Jimmy.

Saya dan Jimmy saling suka, saling sayang. Masih tetap bukan pacar. Tapi saya suka mengaku sudah punya pacar pada lelaki yang mengejar saya tanpa memberi tahu siapa hanya otak saya selalu terlintas namanya ketika itu. Saya setia padanya, menjaga hati saya untuknya. Saya kira dia begitu. Ternyata tidak.

Awal kuliah semester satu ia mengenalkan pacarnya yang tidak sengaja bertemu di bioskop. Saya saat itu masih suka nonton bioskop sendiri. Jimmy selalu menolak diajak menonton. Katanya tidak suka. Tapi dia pergi dengan perempuan lain ke bioskop!

Saya merasa dikhianati sekaligus malu karena merasa begitu. Saya frustasi. Mungkin selama ini saya yang menganggap berlebihan perlakuan Jimmy. Jimmy mungkin menganggapnya biasa. Saya menelaah dimana saya mulai merasa berlebihan. Tapi semakin saya berusaha mencari malah saya semakin merasa kehilangan. Kehilangan harga diri.

Pacarnya berperawakan yang cocok dipanggil babe. Saya big boss. Saya nonton film aksi sambil menangis. Mereka berdua mungkin sedang menonton film horror sambil bermesraan.

Jimmy masih suka menelepon saya dan saya menjawab dengan nada dingin. Membalas bbm dia seperlunya. Mengaku tidak di rumah ketika Jimmy hendak berkunjung. Saya harap dia peka mengapa saya menjauh. Dia pun menjauh.

Itulah terakhir kali saya bertemu dengan Jimmy. Sahabat ‘dekat’ saya. Mantan calon pacar.

Saya mengaku saja kalau saya kangen dia, tapi dulu. Semenjak ada Dimas, Singgih, dan teman-temannya, saya telah melupakan Jimmy. Menjadikan dia kenangan indah masa SMA. Memaafkan waktu-waktu itu. Tidak ada yang perlu dimaafkan dari Jimmy.

Yang saya suka dari dia adalah dia membiarkan saya bercerita. Saya sangat suka bercerita dan Jimmy pendengar yang baik. Saya bisa bicara ngalur-ngidul tidak jelas selama beberapa jam dan dia bersikap biasa saja. Teman-teman kuliah saya suka jengkel kalau saya sudah tidak bisa berhenti berbicara. Saya jadi lebih pendiam di kampus. Pada Dimas dan Singgih saya masih penasaran dengan mereka dan membiarkan mereka bercerita sepuasanya.

Pada Jimmy saya punya satu kebebasan menjadi diri saya. Saya tidak takut dibilang tidak intelek. Bagi Jimmy orang yang bisa eksakta adalah orang yang jenius. Saya selalu si jenius untuk Jimmy. Saya tidak takut dibilang tidak cantik. Bagi Jimmy saya selalu lucu dan menggemaskan. Bahkan dia pernah mengejek saya karena saya berdandan lengkap untuk pensi sekolah. Mati-matian dia bilang saya jelek dan tidak pantas pakai riasan begitu. Saya kecewa sebentar. Saya juga sadar meskipun saya terlihat cantik tapi saya tidak nyaman dengan semua itu. Dan Jimmy bisa melihatnya dan menjabarkannya meski dengan cara yang kurang tepat.

Saya sangat senang bertemu Jimmy hari itu. Dia banyak berubah secara penampilan dan perilaku. Dia lebih mature. Saya suka suara beratnya ketika terawa. Dia dengan rasa yang berbeda. Dulu dan sekarang saya selalu suka dia. Dulu dan sekarang saya tidak punya alasan untuk membenci Jimmy.

Next
Previous

Tidak ada komentar:

Posting Komentar