Senin, 22 September 2014

CERBUNG #3: Perempuan



“Berapa mahar buat menikahi kamu, Sonya?” tanya teman laki-laki saya pada Sonya. Entah darimana percakapan mereka berasal sehingga bisa keluar pertanyaan konyol seperti ini.

Kata mereka Sonya itu harta karun kelas yang harus dijaga. Sonya tinggi semampai juga montok. Rambutnya hitam lurus dan wajahnya kearab-araban. Sonya sederhana dan polos. Banyak senior sering datang ke kelas kami hanya untuk pedekate dengan Sonya.

“Seharga dua mobil mini cooper. Lunas!” katanya sambil terkikik. Sonya kini hanya komoditi, dia sendiri yang menetapkan harganya. Saya tidak peduli apakah Sonya hanya bercanda atau tidak tapi kalau saya ditanya saya akan menjawab saya tidak bisa dibeli. Kalau ingin menikah ya saling menikah saja tanpa ada siapa yang membeli siapa. Saya bukan barang! Sayangnya tidak ada yang pernah bertanya begitu.

Yang lain menyahut, “mahal amat?” Sahutan ini berasal dari perempuan. Jika mau menilai perempuan dan dua mini cooper dibilang mahal saya tidak tahu seberapa banyak perempuan itu mau dibeli. Tapi itu masalah lain. Kalau saya sih tetap tidak setuju dengan mahar.

“Jelas dong, saya kan bakal S1. Masa S1 dibayar murah?” jawab Sonya mantap.

Saya tertohok. Pada hari itu saya baru tahu mahar ada ukurannya. Kalau lulusan S1 lebih mahal dari lulusan SMA. Kata teman saya, kalau perempuannya sudah PNS lebih mahal lagi. Jika orang tuanya berasal dari angkatan seperti polisi atau tentara harganya bisa jauh lebih tinggi. Benar-benar hanya komoditi.

Saya sedih sebenarnya dengan percakapan teman-teman saya. Ingin rasanya mengubah itu semua tapi kok terdengar terlalu heroik ya. Lagi pula banyak perempuan-perempuan yang tidak sadar kalau harkat dan martabat mereka sedang diperjuangkan. Perempuan-perempuan sekarang ngakunya pejuang emansipasi tapi masih hidup dalam patriarki.

Percakapan mereka terus berlanjut tentang pernikahan. Jadi teringat Maya. Kemudian beralih ke tempat honeymoon impian. Percakapan mereka menjadi sedikit mengada-ada. Biarlah mereka berangan-angan. Aku pindah ke kelompok lainnya yang didominasi pria. Mereka tengah asik berbincang jadi aku datang saja mendengarkan.

Cerita mereka mengenai ujian masuk polisi yang baru-baru ini diadakan. Lalu mengerucut mengenai tes keperawanan. Aku tidak pernah setuju ada tes keperawanan. Sejak kapan keperawanan menjadi salah satu tolak ukur intelektual seseorang. Kenapa juga hanya perempuan yang diperiksa?

Aku dengan blak-blakan menyatakan menentang tes keperawanan untuk masuk kepolisian atau apa pun. Aku kira mereka juga begitu. Ternyata ada yang menyetujui. Katanya kalau menjaga diri saja tidak bisa apalagi menjaga Negara. Tidak jelas logikanya. Dimana letak benang merah antara keperawanan dan Negara?

Lalu bagaimana dengan perempuan yang diperkosa? Mereka tidak memilih untuk kehilangan keperawan. Mereka sudah sangat menjaga diri akan tetapi musibah bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Masa korban perkosaan kehilangan haknya untuk menjadi polisi. Ah, bukan kehilangan akan tetapi hak mereka dirampas oleh peraturan yang tidak relevan.

Tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan peraturan konyol itu. Wacana apa yang melatarbelakangi peraturan tersebut. Peraturan Negara ini sering sekali menyulitkan perempuan. Saya tidak suka apa pun yang menyulitkan perempuan.

Yang tadinya sedih saya jadi kesal. Mungkin sedih dan kesal sekaligus. Saya sedih karena perempuan tidak tahu kalau mereka sedang diperjuangkan. Saya kesal karena ada perempuan yang patriarkal.

Saya menelepon Dimas minta penghiburan. Cerita Dimas mungkin bisa melupakan kesedihan dan kekesalan saya. Tapi ponsel Dimas tidak aktif. Saya beralih ke Singgih tapi ponsel dia juga tidak aktif. Aih, kemana dua orang ini?

Ponsel saya berdering. Dengan semangat saya jawab dengan nada kesal. “Kenapa sih handphone kalian gak ada yang bisa dihubungi?”

Suara disana terkesan bingung. Saya melihat layar ponsel dan ternyata yang menelepon bukan Dimas maupun Singgih melainkan mantan saya (akan dijelaskan mantan apa dia bagi saya), Jimmy. Untung saja yang menelepon bukan Ibu. Saya tentu tidak menyangka akan berkomunikasi lagi setelah sekian lama berpisah lagi pula kami perpisahan kami bisa dikatakan buruk.

Saya mengiyakan saja makan siang dengan Jimmy. Tidak ada rotan, akar pun jadilah. Dia menjemput saya. Anak ini semakin parlente saja. Sekarang dia lebih rapih dan sudah tahu pakai parfum. Dulu Jimmy tidak pakai parfum tapi saya selalu suka wanginya yang dulu. Wangi sabun, sampo, dan deodorannya yang berbaur menjadi satu. Sekarang wanginya lebih menyengat.

Next
Previous

Tidak ada komentar:

Posting Komentar