“Berapa mahar buat menikahi kamu, Sonya?” tanya
teman laki-laki saya pada Sonya. Entah darimana percakapan mereka berasal
sehingga bisa keluar pertanyaan konyol seperti ini.
Kata mereka Sonya itu harta karun kelas yang harus
dijaga. Sonya tinggi semampai juga montok. Rambutnya hitam lurus dan wajahnya
kearab-araban. Sonya sederhana dan polos. Banyak senior sering datang ke kelas
kami hanya untuk pedekate dengan Sonya.
“Seharga dua mobil mini cooper. Lunas!” katanya sambil terkikik. Sonya kini hanya
komoditi, dia sendiri yang menetapkan harganya. Saya tidak peduli apakah Sonya
hanya bercanda atau tidak tapi kalau saya ditanya saya akan menjawab saya tidak
bisa dibeli. Kalau ingin menikah ya saling menikah saja tanpa ada siapa yang
membeli siapa. Saya bukan barang! Sayangnya tidak ada yang pernah bertanya
begitu.
Yang lain menyahut, “mahal amat?” Sahutan ini
berasal dari perempuan. Jika mau menilai perempuan dan dua mini cooper dibilang mahal saya tidak tahu seberapa banyak
perempuan itu mau dibeli. Tapi itu masalah lain. Kalau saya sih tetap tidak
setuju dengan mahar.
“Jelas dong, saya kan bakal S1. Masa S1 dibayar
murah?” jawab Sonya mantap.
Saya tertohok. Pada hari itu saya baru tahu mahar
ada ukurannya. Kalau lulusan S1 lebih mahal dari lulusan SMA. Kata teman saya,
kalau perempuannya sudah PNS lebih mahal lagi. Jika orang tuanya berasal dari
angkatan seperti polisi atau tentara harganya bisa jauh lebih tinggi. Benar-benar
hanya komoditi.
Saya sedih sebenarnya dengan percakapan teman-teman
saya. Ingin rasanya mengubah itu semua tapi kok terdengar terlalu heroik ya.
Lagi pula banyak perempuan-perempuan yang tidak sadar kalau harkat dan martabat
mereka sedang diperjuangkan. Perempuan-perempuan sekarang ngakunya pejuang
emansipasi tapi masih hidup dalam patriarki.
Percakapan mereka terus berlanjut tentang
pernikahan. Jadi teringat Maya. Kemudian beralih ke tempat honeymoon impian. Percakapan mereka menjadi sedikit mengada-ada.
Biarlah mereka berangan-angan. Aku pindah ke kelompok lainnya yang didominasi
pria. Mereka tengah asik berbincang jadi aku datang saja mendengarkan.
Cerita mereka mengenai ujian masuk polisi yang
baru-baru ini diadakan. Lalu mengerucut mengenai tes keperawanan. Aku tidak
pernah setuju ada tes keperawanan. Sejak kapan keperawanan menjadi salah satu
tolak ukur intelektual seseorang. Kenapa juga hanya perempuan yang diperiksa?
Aku dengan blak-blakan menyatakan menentang tes
keperawanan untuk masuk kepolisian atau apa pun. Aku kira mereka juga begitu.
Ternyata ada yang menyetujui. Katanya kalau menjaga diri saja tidak bisa
apalagi menjaga Negara. Tidak jelas logikanya. Dimana letak benang merah antara
keperawanan dan Negara?
Lalu bagaimana dengan perempuan yang diperkosa?
Mereka tidak memilih untuk kehilangan keperawan. Mereka sudah sangat menjaga
diri akan tetapi musibah bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Masa
korban perkosaan kehilangan haknya untuk menjadi polisi. Ah, bukan kehilangan
akan tetapi hak mereka dirampas oleh peraturan yang tidak relevan.
Tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan
peraturan konyol itu. Wacana apa yang melatarbelakangi peraturan tersebut. Peraturan
Negara ini sering sekali menyulitkan perempuan. Saya tidak suka apa pun yang
menyulitkan perempuan.
Yang tadinya sedih saya jadi kesal. Mungkin sedih
dan kesal sekaligus. Saya sedih karena perempuan tidak tahu kalau mereka sedang
diperjuangkan. Saya kesal karena ada perempuan yang patriarkal.
Saya menelepon Dimas minta penghiburan. Cerita Dimas
mungkin bisa melupakan kesedihan dan kekesalan saya. Tapi ponsel Dimas tidak
aktif. Saya beralih ke Singgih tapi ponsel dia juga tidak aktif. Aih, kemana
dua orang ini?
Ponsel saya berdering. Dengan
semangat saya jawab dengan nada kesal. “Kenapa sih handphone kalian gak ada
yang bisa dihubungi?”
Suara disana terkesan bingung. Saya
melihat layar ponsel dan ternyata yang menelepon bukan Dimas maupun Singgih
melainkan mantan saya (akan dijelaskan mantan apa dia bagi saya), Jimmy. Untung
saja yang menelepon bukan Ibu. Saya tentu tidak menyangka akan berkomunikasi
lagi setelah sekian lama berpisah lagi pula kami perpisahan kami bisa dikatakan
buruk.
Saya mengiyakan saja makan siang
dengan Jimmy. Tidak ada rotan, akar pun jadilah. Dia menjemput saya. Anak ini
semakin parlente saja. Sekarang dia lebih rapih dan sudah tahu pakai parfum.
Dulu Jimmy tidak pakai parfum tapi saya selalu suka wanginya yang dulu. Wangi
sabun, sampo, dan deodorannya yang berbaur menjadi satu. Sekarang wanginya
lebih menyengat.
Next
Previous
Next
Previous
Tidak ada komentar:
Posting Komentar