Selasa, 28 Oktober 2014

CERBUNG 7: Lanjutan Fiona



Mereka berdua memang bukan lah orang sabar. Buktinya sejam setelah saya sampai rumah Dimas menelepon saya. Menagih cerita. Sudah jam dua belas malam, kalau saya teleponan di kamar rasanya akan mengganggu Ibu. Jadi saya memutuskan untuk ke ruang tamu dan menelepon dengan mereka bertiga. Ya, Singgih juga ikut-ikutan.

Setelah kejadian twitter itu, semua yang wajar mengenai Fiona terasa salah. Saya kecewa. Saya kira saya dianggap kakak beneran ternyata dia melihat saya sebagai orang lain.

Esoknya di sekolah Fiona malah menyebar luaskan kalau saya yang menyukai dia. Satu sekolah memandang saya curiga. Bencana besar! Sampai guru-guru pun mempertanyakan hal tersebut pada saya. Fiona gila! Saya kesal dibuatnya.

Mungkin dia sudah mengetahui kalau identitasanya sudah diketahui. Saya tidak tinggal diam. Saya harus meminta penjelasan dari semua ini.

Saya menjadi benci dan jijik pada sikap Fiona. Saya tidak bisa menerima perasaannya pada saya, tentu. Tapi saya merasa bersalah kalau menjadi benci hanya karena perasaan Fiona yang tidak bisa ia kendalikan. Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta kan?

Saya harus bicara. Saya tidak suka memendam semuanya sendirian. Saya bilang pada Fiona sebenarnya Fiona menganggap saya apa? Tapi dia tidak menjawab. Saya tanya apakah dia suka saya dengan cara yang lain? Dia juga tidak menjawab. Saya tanya kenapa dia bilang pada satu sekolah kalau saya yang menyukai dia. Dia menjawab dia merasa saya menyukai dia seperti dia mnyukai saya. Brengsek!

Saya pernah menasehati teman saya yang baru putus dari pacarnya bahwa tidak baik mengembalikan barang-barang pemberian pacar. Kecuali diminta. Sekarang saya malah berniat mengembalikan semua barang pemberian Fiona. Saya merasa tidak menjilat ludah sendiri. Pertama, Fiona bukan pacar saya. Kedua, saya mana tahan lihat barang-barang itu lagi. Geli dan jijik!

Sekali lagi saya tidak marah disukai oleh Fiona. Itu bukan kejahatan. Biarlah Tuhan yang maha adil menghakimi Fiona sendiri. Yang saya tidak suka adalah kebohongan yang ia sebarkan. Kenapa sampai harus mencoreng nama baik saya?! Okelah, teman sekelas saya dan guru-guru yang sangat mengenal saya percaya dengan penjelasan saya. Tapi orang lain bagaimana? Adik kelas dan kakak kelas yang sama sekali tidak kenal saya bisa berpikir yang macam-macam kan?

Persetan orang lain, kata Jimmy. Saya harap saya bisa setidak peduli itu pada orang lain.

“Jadi kalian putus gitu aja, Rit?” tanya Dimas.

“Kok putus sih? Putus kan buat orang yang pacaran, kami tidak!” sahutku kesal.

Terdengar Dimas dan Singgih terkekeh.

“Ya, berhenti berteman saja,” sahutku lagi.

Akhirnya saya memutuskan tidak bertemu dan menolak dihubungi Fiona. Sebagai catatan, sampai sekarang Fiona masih suka menghubungi saya. Tapi tidak saya gubris!

“Gitu aja?” tanya Singgih.

Saya terdiam. Itu adalah jalan terbaik, menurut saya.

Previous

Tidak ada komentar:

Posting Komentar