Mereka berdua memang bukan lah orang sabar. Buktinya
sejam setelah saya sampai rumah Dimas menelepon saya. Menagih cerita. Sudah jam
dua belas malam, kalau saya teleponan di kamar rasanya akan mengganggu Ibu.
Jadi saya memutuskan untuk ke ruang tamu dan menelepon dengan mereka bertiga.
Ya, Singgih juga ikut-ikutan.
Setelah kejadian twitter itu, semua yang wajar
mengenai Fiona terasa salah. Saya kecewa. Saya kira saya dianggap kakak beneran
ternyata dia melihat saya sebagai orang lain.
Esoknya di sekolah Fiona malah menyebar luaskan
kalau saya yang menyukai dia. Satu sekolah memandang saya curiga. Bencana
besar! Sampai guru-guru pun mempertanyakan hal tersebut pada saya. Fiona gila!
Saya kesal dibuatnya.
Mungkin dia sudah mengetahui kalau identitasanya
sudah diketahui. Saya tidak tinggal diam. Saya harus meminta penjelasan dari
semua ini.
Saya menjadi benci dan jijik pada sikap Fiona. Saya
tidak bisa menerima perasaannya pada saya, tentu. Tapi saya merasa bersalah
kalau menjadi benci hanya karena perasaan Fiona yang tidak bisa ia kendalikan.
Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta kan?
Saya harus bicara. Saya tidak suka memendam semuanya
sendirian. Saya bilang pada Fiona sebenarnya Fiona menganggap saya apa? Tapi
dia tidak menjawab. Saya tanya apakah dia suka saya dengan cara yang lain? Dia
juga tidak menjawab. Saya tanya kenapa dia bilang pada satu sekolah kalau saya
yang menyukai dia. Dia menjawab dia merasa saya menyukai dia seperti dia
mnyukai saya. Brengsek!
Saya pernah menasehati teman saya yang baru putus
dari pacarnya bahwa tidak baik mengembalikan barang-barang pemberian pacar.
Kecuali diminta. Sekarang saya malah berniat mengembalikan semua barang
pemberian Fiona. Saya merasa tidak menjilat ludah sendiri. Pertama, Fiona bukan
pacar saya. Kedua, saya mana tahan lihat barang-barang itu lagi. Geli dan
jijik!
Sekali lagi saya tidak marah disukai oleh Fiona. Itu
bukan kejahatan. Biarlah Tuhan yang maha adil menghakimi Fiona sendiri. Yang
saya tidak suka adalah kebohongan yang ia sebarkan. Kenapa sampai harus
mencoreng nama baik saya?! Okelah, teman sekelas saya dan guru-guru yang sangat
mengenal saya percaya dengan penjelasan saya. Tapi orang lain bagaimana? Adik
kelas dan kakak kelas yang sama sekali tidak kenal saya bisa berpikir yang
macam-macam kan?
Persetan orang lain, kata Jimmy. Saya harap saya
bisa setidak peduli itu pada orang lain.
“Jadi kalian putus gitu aja, Rit?” tanya Dimas.
“Kok putus sih? Putus kan buat orang yang pacaran,
kami tidak!” sahutku kesal.
Terdengar Dimas dan Singgih terkekeh.
“Ya, berhenti berteman saja,” sahutku lagi.
Akhirnya saya memutuskan tidak bertemu dan menolak
dihubungi Fiona. Sebagai catatan, sampai sekarang Fiona masih suka menghubungi
saya. Tapi tidak saya gubris!
“Gitu aja?” tanya Singgih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar