Saya sekarang malah sering jalan dengan Dimas juga
Singgih. Dan selama ini saya tidak pernah bertemu dengan teman laki-laki yang
ia cium dulu di depan tempat gym. Saya kira laki-laki itu adalah pacar Dimas
tapi mungkin juga tidak.
Pagi ini Singgih bbm saya bertanya seberapa penting
keperawanan buat saya. Saya yang sedang mengikuti perkulihan dosen killer terkejut membacanya. Saya
memutuskan untuk tidak membalas. Takut dimarahi dosen dan saya kurang bisa
menjelaskan lewat tulisan. Singgih bbm saya lagi katanya umur berapa saya akan
menikah. Saya memutuskan untuk tidak membalas lagi. Apa-apaan sih anak ini?
Esoknya kami janji bertemu di perpustakaan daerah.
Dia perlu baca beberapa buku dan saya perlu sesekali ke perpustakaan. Belakangan
ini saya merasa kurang intelek.
Singgih bertanya lagi seberapa penting keperawanan
buat saya? Saya balik bertanya seberapa penting keperawanan wanita buat dia.
Dengan tegas dia bilang keperawanan tidak ada perlunya. Sepertinya dia sudah
tahu akan ditanya begitu.
Saya bilang keperawanan perlu bagi yang membutuhkan.
Saya tidak membutuhkan keperawan. Saya mengutuki keperawanan sejak lama yang
menjadikan perempuan sebagai komoditi dan menjadi tidak manusiawi.
Kenapa selaput dara begitu menjadi masalah? Kenapa bagian
tubuh yang lain tidak? Kenapa tidak mempertanyakan ginjal perempuan rusak atau
tidak. Atau apakah seorang perempuan memiliki genetik kanker payudara. Kenapa
selaput dara yang tipis dan bisa rusak walau tidak berhubungan seks menjadi
syarat utama bagi laki-laki untuk menerima perempuan. Kenapa juga perempuan
jarang resah apakah laki-lakinya masih perjaka atau tidak.
Dia tidak merespon apa pun dari jawaban saya.
Singgih hanya manggut-manggut sambil senyum. Tidak jelas apa arti senyumnya. Dia
kembali tekun membaca sambil mencatat ini itu.
Saya mencari buku-buku filsafat. Sekembalinya saya,
Singgih sudah bersama perempuan. Saya menghampiri mereka. Ternyata perempuan
itu adalah teman kuliah Singgih, namanya Maya. Wajahnya manis dan gayanya
sangat feminim. Setelah berkenalan, saya mengucapkan selamat kepada Maya yang
akan segera menikah Sabtu ini.
Kemudian Maya yang polos-polos menggemaskan itu bilang
dia dapat mahar tinggi dan meninggalkan pacar terdahulunya karena tidak dapat
memenuhi standar mahar sesuai dengan kemauan orang tua Maya.
Satu kata buat Maya adalah kasihan. Bagi saya Maya
bukan manusia. Dia hanya barang yang dapat dibeli. Siapa yang bisa membayar
lebih mahal akan mendapatkannya. Tapi sepertinya Maya senang-senang saja justru
sedikit menyombongkan pernikahan besar-besaran seperti impiannya sejak kecil.
“Pesta pernikahan seperti apa yang kamu inginkan,
Ta?” tanya Singgih setelah Maya pergi dengan calon suaminya. Tidak terlihat
jelas wajah suaminya tapi calon suaminya berbadan tambun. Itu jelas sekali.
“Pesta pernikahan? Wah, saya dari dulu tidak punya
pernikahan impian,” jawab saya. Saya dari kecil memang tidak pernah
bercita-cita menjadi pengantin. Saya lebih suka berimajinasi kalau saya
ternyata adalah seoarang penyihir dan bisa ke Hogwarts.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar