Senin, 22 September 2014

CERBUNG #2: Apa Sih Arti Senyum Singgih?



Saya sekarang malah sering jalan dengan Dimas juga Singgih. Dan selama ini saya tidak pernah bertemu dengan teman laki-laki yang ia cium dulu di depan tempat gym. Saya kira laki-laki itu adalah pacar Dimas tapi mungkin juga tidak.

Pagi ini Singgih bbm saya bertanya seberapa penting keperawanan buat saya. Saya yang sedang mengikuti perkulihan dosen killer terkejut membacanya. Saya memutuskan untuk tidak membalas. Takut dimarahi dosen dan saya kurang bisa menjelaskan lewat tulisan. Singgih bbm saya lagi katanya umur berapa saya akan menikah. Saya memutuskan untuk tidak membalas lagi. Apa-apaan sih anak ini?

Esoknya kami janji bertemu di perpustakaan daerah. Dia perlu baca beberapa buku dan saya perlu sesekali ke perpustakaan. Belakangan ini saya merasa kurang intelek.

Singgih bertanya lagi seberapa penting keperawanan buat saya? Saya balik bertanya seberapa penting keperawanan wanita buat dia. Dengan tegas dia bilang keperawanan tidak ada perlunya. Sepertinya dia sudah tahu akan ditanya begitu.

Saya bilang keperawanan perlu bagi yang membutuhkan. Saya tidak membutuhkan keperawan. Saya mengutuki keperawanan sejak lama yang menjadikan perempuan sebagai komoditi dan menjadi tidak manusiawi.

Kenapa selaput dara begitu menjadi masalah? Kenapa bagian tubuh yang lain tidak? Kenapa tidak mempertanyakan ginjal perempuan rusak atau tidak. Atau apakah seorang perempuan memiliki genetik kanker payudara. Kenapa selaput dara yang tipis dan bisa rusak walau tidak berhubungan seks menjadi syarat utama bagi laki-laki untuk menerima perempuan. Kenapa juga perempuan jarang resah apakah laki-lakinya masih perjaka atau tidak.

Dia tidak merespon apa pun dari jawaban saya. Singgih hanya manggut-manggut sambil senyum. Tidak jelas apa arti senyumnya. Dia kembali tekun membaca sambil mencatat ini itu.

Saya mencari buku-buku filsafat. Sekembalinya saya, Singgih sudah bersama perempuan. Saya menghampiri mereka. Ternyata perempuan itu adalah teman kuliah Singgih, namanya Maya. Wajahnya manis dan gayanya sangat feminim. Setelah berkenalan, saya mengucapkan selamat kepada Maya yang akan segera menikah Sabtu ini.
Kemudian Maya yang polos-polos menggemaskan itu bilang dia dapat mahar tinggi dan meninggalkan pacar terdahulunya karena tidak dapat memenuhi standar mahar sesuai dengan kemauan orang tua Maya.

Satu kata buat Maya adalah kasihan. Bagi saya Maya bukan manusia. Dia hanya barang yang dapat dibeli. Siapa yang bisa membayar lebih mahal akan mendapatkannya. Tapi sepertinya Maya senang-senang saja justru sedikit menyombongkan pernikahan besar-besaran seperti impiannya sejak kecil.

“Pesta pernikahan seperti apa yang kamu inginkan, Ta?” tanya Singgih setelah Maya pergi dengan calon suaminya. Tidak terlihat jelas wajah suaminya tapi calon suaminya berbadan tambun. Itu jelas sekali.

“Pesta pernikahan? Wah, saya dari dulu tidak punya pernikahan impian,” jawab saya. Saya dari kecil memang tidak pernah bercita-cita menjadi pengantin. Saya lebih suka berimajinasi kalau saya ternyata adalah seoarang penyihir dan bisa ke Hogwarts.

Singgih senyum-senyum saja mendengar jawaban saya. Senyuman yang sama saat menjawab pertanyaan seberapa perlu keperawanan buat saya. Apa sih arti senyum Singgih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar