Senin, 22 September 2014

CERBUNG #1: Introduction



Hari itu saya santai saja menunggu angkot. Tiba-tiba hujan. Saya panik karena membawa laptop dan tidak membawa payung. Sial! Hujannya semena-mena. Saya kocar-kacir mencari tempat berlindung.

Sampailah saya di depan sebuah mall elit. Sempat kepikiran mau duduk-duduk nunggu hujan di café atau malah nonton bioskop tapi niat itu saya urungkan. Maklum mahasiswa, harus pandai-pandai mengatur uang dan nafsu. Dari pada menunggu hujan yang tidak kunjung reda, saya memutuskan untuk jalan-jalan keliling mall dengan syarat saya harus berjanji tidak membeli apa pun.

Di depan saya ada cowok berkulitnya sawo matang, badannya jangkung, dan wajahnya manis. Saya terkesima beberapa saat. Cowok idaman saya ada di depan mata. Saya sempat merasa minder karena sedang lusuh-lusuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama karena kemudian datang cowok berwajah oriental dengan badan kekar. Mereka berciuman! Mungkin tidak bisa disebut berciuman karena mereka hanya menempelkan bibir sedetik. Pertama kalinya saya menyaksikan ciuman secara langsung dan itu dilakukan oleh sesama laki-laki. Senang-senang jijik.

Oh, saya bukan orang yang anti LGBT. Saya merasa orientasi seksual apapun bentuknya adalah hal yang harus dihormati terlepas dari apakah itu dosa atau tidak. Urusan dosa adalah urusan Tuhan. Saya tidak peduli bagaimana pun seseorang itu, asal saya tidak terganggu.

Beberapa minggu berlalu. Saya sudah lupa pria sawo matang itu. Tidak ada alasan untuk mengingat-ingat dia lagi. Dia lelaki yang mempesona saya dan mematahkan hati saya pada waktu yang bersamaan. Kenangan singkat itu tentu tidak bertahan terlalu lama sampai suatu saat saya bertemu dia lagi secara tidak sengaja.

Saya bertemu dia lagi di jalan saat buru-buru pulang dan hujan. Dia dan hujan mungkin memiliki relasi yang erat. Dan saya bukan orang yang percaya dengan kebetulan. Dia menyerempet saya dan tabung gambar saya jatuh, tutupnya terbuka sehingga air masuk. Saya syok karena gambar saya yang kotor dan bertemu pria sawo matang itu lagi.

Dia berulang kali minta maaf. Saya tidak bisa bilang tidak apa-apa karena memang apa-apa yang terjadi. Dia sangat bersalah, sepertinya. Atau mungkin dia tahu betapa berharganya selembar kertas bergambar itu bagi mahasiswa teknik sipil. Di saat itu pastilah dia kira saya mahasiswa arsitektur.

Dia menawari saya pulang. Tanpa aba-aba saya langsung masuk ke mobilnya. Saya yakin dia bukan orang jahat. Intuisi saya yang bilang. Dia pun mengantar saya pulang. Sepanjang perjalanan wajah saya masih murung. Penat rasanya harus menggambar ulang. Dia pun agak sedikit canggung.

“Nama saya Dimas, kamu mau diantar kemana?” tanya Dimas hati-hati.

“Rita,” sahut saya jutek. Saya memberikan nama jalan rumah saya. Meskipun saya yakin dia bukan orang jahat saya tetap berhati-hati dan meminta turun di gang sebelum gang rumah saya. Dan saya berjalan pulang setelah memastikan dia telah pergi sejauh seratus meter.

Hari berlalu, kali ini saya tidak lupa dengan Dimas. Saya mengingat dia setiap hari. Bukan karena suka melainkan sebal karena dia membuat saya mengerjakan tugas dua kali. Sebenarnya tidak terlalu sebal karean Dimas akhirnya keinginan saya ‘nebeng’ pada orang asing terpenuhi. Di imajinasi saya, saya dan orang asing saling suka. Di kenyataan saya sebal dan mungkin juga dia begitu.

Tahu apa yang terjadi minggu berikutnya? Ya. Kami bertemu lagi di mall yang sama tapi berbeda situasi. Di depan tempat gym elit itu hanya saya yang melihat dia, kalau sekarang di bioskop kami sama-sama melihat. Dan hujan.

“Hei!” sapa Dimas dengan girang. Dia langsung menghampiri saya dan memeluk saya ditambah cipika-cipiki.

Saya agak kaget tapi berusaha tetap tenang. Saya berpikir mungkin pergaulan sekarang melakukan hal itu jika bertemu. Saya sedikit merasa kurang gaul. Tapi Dimas bukan teman dekat yang seenaknya dipeluk dan cipika-cipiki. Saya kembali merasa wajar akan kekagetan saya.

“Hei, Bang!” sahut saya kikuk.

Dimas tertawa geli. “Bang? Saya masih dua tiga keleus.”

Bagaimana pun Dimas lebih tua dari saya meski hanya tiga tahun. Tiga tahun waktu yang lama loh. Atau jangan-jangan Dimas melihat saya sebagai mahasiswa semester lanjut. Sial!

Dimas bukan lah pria melambai, dia hanya ekspresif. Jika saya tidak melihat kecupannya dengan laki-laki di depan gym tempo hari mungkin saya tidak akan berpikir kalau dia gay. Dimas tahu tidak ya kalau saya sudah tahu dia gay?

Soal umur tadi saya tidak keberatan memanggil dia dengan nama saja. Lagi pula memanggil Bang pada Dimas sedikit janggal, saya tidak tahu kenapa.

Saya sendiri dan Dimas dengan temannya. Temannya ini tidak lebih tinggi dari Dimas tapi dia tidak pendek juga. Wajahnya sangat bersih membuat saya curiga bahwa dia mungkin seorang gay. Tapi yang membuat saya suka dengannya adalah namanya. Singgih. Saya baru pertama kali dengar nama itu. Dan dia pemakai celana yang baik. Tidak ngatung, tidak kepanjangan, dan tidak ketat. Celana jinsnya lurus saja memperlihatkan kakinya yang jenjang.

Inilah yang saya suka dari para gay. Meski bisa dianggap stereotipe akan tetapi kebanyakan gay lebih peduli penampilan. Tidak berlebihan sehingga enak dipandang mata. Metroseksual lah pokoknya.

Dimas memaksa saya nonton dengannya. Mungkin Dimas masih merasa bersalah. Tapi saya anggap tebengan itu sudah menebus semuanya. Saya jelas tidak keberatan. Mahasiswa kok ditawari yang gratisan ya pasti mau. Sebelumnya saya juga memastikan apakah Singgih terganggu kalau saya ikut. Tapi tidak, dia juga ikut-ikutan memaksa saya nonton dengan mereka berdua.

Dimas dan Singgih adalah orang-orang yang menyenangkan. Dimas yang banyak bicara dan Singgih yang meski bicara sesekali tapi lucu. Saya yakin tidak ada yang perlu di khawatirkan dari dua orang ini.

Tidak hanya memaksa saya menonton dengan mereka, saya juga diajak untuk ikut pameran fotografi. Barulah saya tahu kalau Dimas adalah fotografer dan Singgih adalah penulis artikel koran lokal. Agak deg-degan juga dibawa orang yang tidak dikenal ke hotel (pamerannya di ballroom hotel bintang lima).

Meski yakin dua orang ini adalah orang baik tapi pikiran buruk saya masih suka mondar-mandir. Bagaimana kalau mereka memperkosa saya? Saya mana sanggup melawan dua orang sekaligus. Apalagi saya teringat kata-kata Ibu, bencong sekalipun tetap masih punya burung. Tapi saya malu sendiri akan pikiran kotor itu. Kenapa tidak berpikir mereka akan membunuh dan menjual organ tubuh saya?

Pamerannya ternyata cukup ramai. Semua foto yang dipajang adalah foto hitam putih. Saya jadi kurang tertarik. Sudah tidak tahu tentang dunia fotografi dan ditambah hitam putih pula. Bagi yang lain mungkin memiliki nilai estetika yang tinggi, bagi saya itu adalah hal membosankan. Teknologi sudah maju kenapa harus hitam putih. Yah, mungkin ini hanya soal selera.

“Kamu bosan ya?” tanya Singgih.

Saya hanya cengengesan saja. Kami berdua memperhatikan Dimas. Dia seperti anak kecil yang dibawa ke taman bermain besar, kalap mau main apa. Singgih dan saya jadi asik bercerita. Saya menjelaskan perbedaan arsitek dengan teknik sipil. Singgih menjelaskan dunia jurnalistik.

Dimas kembali dengan beberapa brosur di tangannya. “Ayo pulang!”

“Yah, kok pulang? Lapar nih.” Singgih menyikut tangan saya.

Saya ngangguk-ngangguk senang. 

  #1   #2   #3          

1 komentar: