Hari itu saya santai saja menunggu angkot. Tiba-tiba
hujan. Saya panik karena membawa laptop dan tidak membawa payung. Sial!
Hujannya semena-mena. Saya kocar-kacir mencari tempat berlindung.
Sampailah saya di depan sebuah mall elit. Sempat
kepikiran mau duduk-duduk nunggu hujan di café atau malah nonton bioskop tapi
niat itu saya urungkan. Maklum mahasiswa, harus pandai-pandai mengatur uang dan
nafsu. Dari pada menunggu hujan yang tidak kunjung reda, saya memutuskan untuk
jalan-jalan keliling mall dengan syarat saya harus berjanji tidak membeli apa
pun.
Di depan saya ada cowok berkulitnya sawo matang,
badannya jangkung, dan wajahnya manis. Saya terkesima beberapa saat. Cowok
idaman saya ada di depan mata. Saya sempat merasa minder karena sedang
lusuh-lusuhnya. Tapi itu tidak berlangsung lama karena kemudian datang cowok
berwajah oriental dengan badan kekar. Mereka berciuman! Mungkin tidak bisa
disebut berciuman karena mereka hanya menempelkan bibir sedetik. Pertama
kalinya saya menyaksikan ciuman secara langsung dan itu dilakukan oleh sesama
laki-laki. Senang-senang jijik.
Oh, saya bukan orang yang anti LGBT. Saya merasa
orientasi seksual apapun bentuknya adalah hal yang harus dihormati terlepas
dari apakah itu dosa atau tidak. Urusan dosa adalah urusan Tuhan. Saya tidak
peduli bagaimana pun seseorang itu, asal saya tidak terganggu.
Beberapa minggu berlalu. Saya sudah lupa pria sawo
matang itu. Tidak ada alasan untuk mengingat-ingat dia lagi. Dia lelaki yang
mempesona saya dan mematahkan hati saya pada waktu yang bersamaan. Kenangan
singkat itu tentu tidak bertahan terlalu lama sampai suatu saat saya bertemu
dia lagi secara tidak sengaja.
Saya bertemu dia lagi di jalan saat buru-buru pulang
dan hujan. Dia dan hujan mungkin memiliki relasi yang erat. Dan saya bukan
orang yang percaya dengan kebetulan. Dia menyerempet saya dan tabung gambar saya
jatuh, tutupnya terbuka sehingga air masuk. Saya syok karena gambar saya yang
kotor dan bertemu pria sawo matang itu lagi.
Dia berulang kali minta maaf. Saya tidak bisa bilang
tidak apa-apa karena memang apa-apa yang terjadi. Dia sangat bersalah,
sepertinya. Atau mungkin dia tahu betapa berharganya selembar kertas bergambar
itu bagi mahasiswa teknik sipil. Di saat itu pastilah dia kira saya mahasiswa
arsitektur.
Dia menawari saya pulang. Tanpa aba-aba saya
langsung masuk ke mobilnya. Saya yakin dia bukan orang jahat. Intuisi saya yang
bilang. Dia pun mengantar saya pulang. Sepanjang perjalanan wajah saya masih
murung. Penat rasanya harus menggambar ulang. Dia pun agak sedikit canggung.
“Nama saya Dimas, kamu mau diantar kemana?” tanya
Dimas hati-hati.
“Rita,” sahut saya jutek. Saya memberikan nama jalan
rumah saya. Meskipun saya yakin dia bukan orang jahat saya tetap berhati-hati
dan meminta turun di gang sebelum gang rumah saya. Dan saya berjalan pulang setelah
memastikan dia telah pergi sejauh seratus meter.
Hari berlalu, kali ini saya tidak lupa dengan Dimas.
Saya mengingat dia setiap hari. Bukan karena suka melainkan sebal karena dia
membuat saya mengerjakan tugas dua kali. Sebenarnya tidak terlalu sebal karean
Dimas akhirnya keinginan saya ‘nebeng’ pada orang asing terpenuhi. Di imajinasi
saya, saya dan orang asing saling suka. Di kenyataan saya sebal dan mungkin
juga dia begitu.
Tahu apa yang terjadi minggu berikutnya? Ya. Kami
bertemu lagi di mall yang sama tapi berbeda situasi. Di depan tempat gym elit
itu hanya saya yang melihat dia, kalau sekarang di bioskop kami sama-sama
melihat. Dan hujan.
“Hei!” sapa Dimas dengan girang. Dia langsung
menghampiri saya dan memeluk saya ditambah cipika-cipiki.
Saya agak kaget tapi berusaha tetap tenang. Saya
berpikir mungkin pergaulan sekarang melakukan hal itu jika bertemu. Saya
sedikit merasa kurang gaul. Tapi Dimas bukan teman dekat yang seenaknya dipeluk
dan cipika-cipiki. Saya kembali merasa wajar akan kekagetan saya.
“Hei, Bang!” sahut saya kikuk.
Dimas tertawa geli. “Bang? Saya masih dua tiga
keleus.”
Bagaimana pun Dimas lebih tua dari saya meski hanya
tiga tahun. Tiga tahun waktu yang lama loh. Atau jangan-jangan Dimas melihat
saya sebagai mahasiswa semester lanjut. Sial!
Dimas bukan lah pria melambai, dia hanya ekspresif.
Jika saya tidak melihat kecupannya dengan laki-laki di depan gym tempo hari
mungkin saya tidak akan berpikir kalau dia gay. Dimas tahu tidak ya kalau saya
sudah tahu dia gay?
Soal umur tadi saya tidak keberatan memanggil dia
dengan nama saja. Lagi pula memanggil Bang pada Dimas sedikit janggal, saya
tidak tahu kenapa.
Saya sendiri dan Dimas dengan temannya. Temannya ini
tidak lebih tinggi dari Dimas tapi dia tidak pendek juga. Wajahnya sangat
bersih membuat saya curiga bahwa dia mungkin seorang gay. Tapi yang membuat
saya suka dengannya adalah namanya. Singgih. Saya baru pertama kali dengar nama
itu. Dan dia pemakai celana yang baik. Tidak ngatung, tidak kepanjangan, dan
tidak ketat. Celana jinsnya lurus saja memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Inilah yang saya suka dari para gay. Meski bisa
dianggap stereotipe akan tetapi kebanyakan gay lebih peduli penampilan. Tidak
berlebihan sehingga enak dipandang mata. Metroseksual lah pokoknya.
Dimas memaksa saya nonton dengannya. Mungkin Dimas
masih merasa bersalah. Tapi saya anggap tebengan itu sudah menebus semuanya.
Saya jelas tidak keberatan. Mahasiswa kok ditawari yang gratisan ya pasti mau.
Sebelumnya saya juga memastikan apakah Singgih terganggu kalau saya ikut. Tapi
tidak, dia juga ikut-ikutan memaksa saya nonton dengan mereka berdua.
Dimas dan Singgih adalah orang-orang yang
menyenangkan. Dimas yang banyak bicara dan Singgih yang meski bicara sesekali
tapi lucu. Saya yakin tidak ada yang perlu di khawatirkan dari dua orang ini.
Tidak hanya memaksa saya menonton dengan mereka,
saya juga diajak untuk ikut pameran fotografi. Barulah saya tahu kalau Dimas
adalah fotografer dan Singgih adalah penulis artikel koran lokal. Agak
deg-degan juga dibawa orang yang tidak dikenal ke hotel (pamerannya di ballroom
hotel bintang lima).
Meski yakin dua orang ini adalah orang baik tapi
pikiran buruk saya masih suka mondar-mandir. Bagaimana kalau mereka memperkosa
saya? Saya mana sanggup melawan dua orang sekaligus. Apalagi saya teringat
kata-kata Ibu, bencong sekalipun tetap
masih punya burung. Tapi saya malu sendiri akan pikiran kotor itu. Kenapa
tidak berpikir mereka akan membunuh dan menjual organ tubuh saya?
Pamerannya ternyata cukup ramai. Semua foto yang
dipajang adalah foto hitam putih. Saya jadi kurang tertarik. Sudah tidak tahu
tentang dunia fotografi dan ditambah hitam putih pula. Bagi yang lain mungkin
memiliki nilai estetika yang tinggi, bagi saya itu adalah hal membosankan.
Teknologi sudah maju kenapa harus hitam putih. Yah, mungkin ini hanya soal
selera.
“Kamu bosan ya?” tanya Singgih.
Saya hanya cengengesan saja. Kami berdua
memperhatikan Dimas. Dia seperti anak kecil yang dibawa ke taman bermain besar,
kalap mau main apa. Singgih dan saya jadi asik bercerita. Saya menjelaskan
perbedaan arsitek dengan teknik sipil. Singgih menjelaskan dunia jurnalistik.
Dimas kembali dengan beberapa brosur di tangannya.
“Ayo pulang!”
“Yah, kok pulang? Lapar nih.” Singgih menyikut
tangan saya.
Wah keren
BalasHapus