Sabtu, 24 Agustus 2013

DAUN part 2




Aku punya berita bagus dan berita buruk. Berita bagusnya adalah beberapa kali pohon datang datang kepadaku. Kami tidak berbincang tentang hal-hal indah. Belakangan ini ia selalu mengeluh karena kekurangan air.
Berita buruknya ia hanya membagi keluhannya padaku tapi saat tertawa ia bersama dengan daun-daun yang lebih rupawan yang ada di dekatnya.
###

“Kalian terlihat sangat pucat,” kata angin.
“Begitulah, akhir-akhir ini jarang turun hujan. Kami kekurangan air,” sahutku lemah.
Angin mengangguk paham. Ia pergi.
Beberapa saat kemudian setetes air membasahiku. Hujan turun!
“Apakah itu cukup?” tanya angin.
“Bagaimana kau melakukannya?”
Angin tersenyum bangga, “hanya perlu bermain-main dengan awan.”
“Terimakasih,” sahutku sambil tetap merasakan tetes air hujan. Segarnya!
Angin pastilah sangat baik mau membantuku. Tidak hanya aku tapi daun lain dan pohon-pohon lain juga merasakan kebaikan dari angin.
Pohonku juga tampak sangat bergembira. Aku bisa merasakan energi yang mengalir ke dalamku.
Terimakasih angin, terimakasih.
###

Pohon akhir-akhir ini murung walau ia tetap menyapa daun-daun seperti biasa, mengalirkan makanan kepada kami, mengibaskan ranting jika ada ulat bulu yang datang. Namun, ia selalu menyelamatkan daun muda dan membiarkan daun tua. Sekarang sepertinya itu sudah biasa menjadi pemandangan sehari-hari.
Pohon kali ini sedang akrab dengan sebuah pucuk. Ia berbincang padanya sepanjang hari. Aku pernah menggoyangkan diriku agar mendapat perhatiannya tapi ia hanya menyapa. Aku heran kenapa aku dahulu ingin sekali menjadi daun tua.
“Hey daun,” sapa angin.
“Hey,” sahutku datar.
“Ah aku ingin sekali menunjukan sesuatu yang lebih indah.”
Aku tiba-tiba bersemangat, “benarkah?”
“Ya tapi tempatnya jauh.”
Seketika aku pun lesu.
“Tapi jika kau mau aku bisa membawamu pergi.”
Meninggalkan pohon?! “Kurasa aku tidak bisa, angin. Bagaimana kalau kau menceritakannya saja.”
Aku tahu angin kecewa tapi dia terlalu baik sampai mau memceritakannya “Baiklah. Hal indah itu adalah matahari tenggelam di pantai. Warna air akan berubah jadi oranye dan cahayanya memantul seperti memercikan berlian. Ah, itu pun jika kau tahu berlian.”
Aku tertawa, “kurasa benar-benar sangat indah.”
###

Sepertinya benar-benar ada yang mengganggu pikiran pohon. Wajahnya sangat sedih. Beberapa kali aku bertanya padanya tapi dia diam saja. Ia tidak berbincang dengan daun lagi. Tentu ini berdampak pada kami. Beberapa daun hijau tiba-tiba berubah warnah menjadi coklat dan jatuh ke tanah. Apa yang sedang terjadi?! Biasanya daun yang sangat tua saja yang akan jatuh ke tanah.
“Hey pohon, ada apa denganmu?” tanyaku.
“Maafkan aku,” bisiknya lirih.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Dunia benar-benar aneh!
“Apa kabar, daun?” sapa angin.
Aku memaksakan senyum.
“Apa kau masih memikirkan pohon?”
“Ya, aku tidak mengerti mengapa dia seperti itu.”
“Apa kau mau lepas dari pohon?” tanya angin.
“Andai aku bisa. Tapi jika tanpanya aku mati.”
“Tapi bersama dengan dia yang seperti ini kau juga akan mati.” Suara pohon terdengar kesal. Ia berhembus kuat. Sangat kuat, membuat daun yang kecoklatan runtuh.
“Aku tidak bisa!” pekikku.
“Lihatlah, apakah pohon mempertahankanmu?”
Aku memilirik ke arah pohon. Ia hanya diam saja. “Aku mohon pergilah!” bentakku pada angin.
Angin mungkin terkejut dengan volume suaraku. Ia tiba-tiba menghilang begitu saja.
Aku melirik lagi ke arah pohon. Apa yang terjadi padamu? Batinku.
“Apa kau benar-benar tidak tahu?” Sebuah tupai sudah berdiri di hadapanku.
“Apa?” sahutku bingung.
Tupai itu menghela napas. “Sebentar lagi musim gugur.”
“Musim gugur? Apa itu?”
Tupai itu melebarkan matanya, “demi tanah yang subur, kau ini daun apa?!” pekiknya. “Musim gugur adalah waktu di mana pohon akan menggugurkan daunnya demi menyelamatkan dirinya.”
“Apa maksudmu?” Aku semakin bingung.
“Apa kau pikir daun jatuh begitu saja?”
###

Apa kau pikir daun jatuh begitu saja.
Aku baru mengerti mengapa pohon meminta maaf waktu itu. Tupai itu sangat pandai dan memberitahuku banyak hal tentang musim gugur, musim salju, dan musim lainnya, tentang burung elang dan rubah yang terkadang memangsa mereka dan lainnya. Yah, aku hanya sebuah daun yang diam di ranting pohon. Memangnya aku bisa apa. Memangnya aku tahu apa.
Daun akan tumbuh ketika musim semi tapi pohon tidak tumbuh semudah yang kau bayangkan.
Kata-kata tupai itu terus terngiang.
Sebenarnya kondisi pohon sangat menyedihkan aku bisa merasakan energi yang mengalir padaku darinya mulai melemah. Apa dia tidak berusaha mempertahankanku? Mempertahankan para daun?
“Apa kau mau pergi sekarang?” sapa angin kali ini.
Aku melirik pohon yang masih murung.
“Tidak. Pohon masih membutuhkanku,” sahutku. Bahkan aku tidak begitu yakin dengan kata-kataku kali ini.
###

Waktu terus berjalan. Setiap hari angin selalu datang dan bertanya apakah aku siap untuk pergi. Aku selalu menjawab tidak. Kondisi pohon semakin parah. Banyak daun yang memilih untuk tetap tinggal banyak juga yang merelakan dirinya jatuh.
Warnaku mulai coklat. Setiap saat aku melemah tapi aku masih ingin bersama pohon walau ia tak menginginkanku.
Aku tahu kami pada daun coklat tak akan bisa melewati kondisi seperti ini. Semua daun coklat harus gugur tapi aku pikir aku bisa menjadi daun yang beruntung bisa melewati musim gugur dan musim salju. Kemudian bertemu beberapa daun baru di musim semi dan lebih dekat dengan pohon.
###

Hari semakin dingin. Angin semakin kuat berhembus. Pohon semakin lemah. Dan aku semakin coklat.
Aku memandang daun lainnya yang masih berwarna kehijauan. Mungkin aku adalah daun tercoklat di pohon ini.
“Apa kau siap untuk pergi?” tanya angin.
Aku menghela napas. “Apa kau bisa melepaskanku?”
“Jika kau mau.”
Aku melirik ke arah pohon. Demi setiap daun yang ada di dunia ini aku tidak mau meninggalkan pohon. Namun, seperti yang dikatakan tupai aku harus gugur.
“Kumohon bertahanlah. Ketika musim-musim berganti tetaplah menjadi dirimu yang tertawa dan tersenyum bahkan ketika musim seperti ini datang. Kami hanya daun dan sudah kewajiban kami untuk gugur dan menyelamatkanmu. Bukan menyelamatkan,” ralatku. “Tapi membalas apa yang sudah kau berikan kepada kami yaitu dunia ini.”
Aku bisa merasakan kesedihan pohon. “Ini bukan salahmu.”
Aku memberi isyarat pada angin. Ia pun berhembus kuat. Aku mulai merasakan tangkaiku melemah. Sebagian diriku rapuh. Aku terbang melayang dan kemudian jatuh tepat di akar pohon yang masih menyembul.
“Bertahanlah, aku mencintaimu,” bisikku.
###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar