Aku punya berita bagus dan berita buruk.
Berita bagusnya adalah beberapa kali pohon datang datang kepadaku. Kami tidak
berbincang tentang hal-hal indah. Belakangan ini ia selalu mengeluh karena
kekurangan air.
Berita buruknya ia hanya membagi
keluhannya padaku tapi saat tertawa ia bersama dengan daun-daun yang lebih
rupawan yang ada di dekatnya.
###
“Kalian terlihat sangat pucat,” kata
angin.
“Begitulah, akhir-akhir ini jarang turun
hujan. Kami kekurangan air,” sahutku lemah.
Angin mengangguk paham. Ia pergi.
Beberapa saat kemudian setetes air
membasahiku. Hujan turun!
“Apakah itu cukup?” tanya angin.
“Bagaimana kau melakukannya?”
Angin tersenyum bangga, “hanya perlu
bermain-main dengan awan.”
“Terimakasih,” sahutku sambil tetap
merasakan tetes air hujan. Segarnya!
Angin pastilah sangat baik mau
membantuku. Tidak hanya aku tapi daun lain dan pohon-pohon lain juga merasakan
kebaikan dari angin.
Pohonku juga tampak sangat bergembira.
Aku bisa merasakan energi yang mengalir ke dalamku.
Terimakasih
angin, terimakasih.
###
Pohon akhir-akhir ini murung walau ia
tetap menyapa daun-daun seperti biasa, mengalirkan makanan kepada kami,
mengibaskan ranting jika ada ulat bulu yang datang. Namun, ia selalu
menyelamatkan daun muda dan membiarkan daun tua. Sekarang sepertinya itu sudah
biasa menjadi pemandangan sehari-hari.
Pohon kali ini sedang akrab dengan
sebuah pucuk. Ia berbincang padanya sepanjang hari. Aku pernah menggoyangkan
diriku agar mendapat perhatiannya tapi ia hanya menyapa. Aku heran kenapa aku
dahulu ingin sekali menjadi daun tua.
“Hey daun,” sapa angin.
“Hey,” sahutku datar.
“Ah aku ingin sekali menunjukan sesuatu
yang lebih indah.”
Aku tiba-tiba bersemangat, “benarkah?”
“Ya tapi tempatnya jauh.”
Seketika aku pun lesu.
“Tapi jika kau mau aku bisa membawamu
pergi.”
Meninggalkan pohon?! “Kurasa aku tidak
bisa, angin. Bagaimana kalau kau menceritakannya saja.”
Aku tahu angin kecewa tapi dia terlalu
baik sampai mau memceritakannya “Baiklah. Hal indah itu adalah matahari
tenggelam di pantai. Warna air akan berubah jadi oranye dan cahayanya memantul
seperti memercikan berlian. Ah, itu pun jika kau tahu berlian.”
Aku tertawa, “kurasa benar-benar sangat
indah.”
###
Sepertinya benar-benar ada yang
mengganggu pikiran pohon. Wajahnya sangat sedih. Beberapa kali aku bertanya
padanya tapi dia diam saja. Ia tidak berbincang dengan daun lagi. Tentu ini
berdampak pada kami. Beberapa daun hijau tiba-tiba berubah warnah menjadi
coklat dan jatuh ke tanah. Apa yang sedang terjadi?! Biasanya daun yang sangat
tua saja yang akan jatuh ke tanah.
“Hey pohon, ada apa denganmu?” tanyaku.
“Maafkan aku,” bisiknya lirih.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi.
Dunia benar-benar aneh!
“Apa kabar, daun?” sapa angin.
Aku memaksakan senyum.
“Apa kau masih memikirkan pohon?”
“Ya, aku tidak mengerti mengapa dia
seperti itu.”
“Apa kau mau lepas dari pohon?” tanya
angin.
“Andai aku bisa. Tapi jika tanpanya aku
mati.”
“Tapi bersama dengan dia yang seperti
ini kau juga akan mati.” Suara pohon terdengar kesal. Ia berhembus kuat. Sangat
kuat, membuat daun yang kecoklatan runtuh.
“Aku tidak bisa!” pekikku.
“Lihatlah, apakah pohon
mempertahankanmu?”
Aku memilirik ke arah pohon. Ia hanya
diam saja. “Aku mohon pergilah!” bentakku pada angin.
Angin mungkin terkejut dengan volume
suaraku. Ia tiba-tiba menghilang begitu saja.
Aku melirik lagi ke arah pohon. Apa yang terjadi padamu? Batinku.
“Apa kau benar-benar tidak tahu?” Sebuah
tupai sudah berdiri di hadapanku.
“Apa?” sahutku bingung.
Tupai itu menghela napas. “Sebentar lagi
musim gugur.”
“Musim gugur? Apa itu?”
Tupai itu melebarkan matanya, “demi
tanah yang subur, kau ini daun apa?!” pekiknya. “Musim gugur adalah waktu di
mana pohon akan menggugurkan daunnya demi menyelamatkan dirinya.”
“Apa maksudmu?” Aku semakin bingung.
“Apa kau pikir daun jatuh begitu saja?”
###
Apa
kau pikir daun jatuh begitu saja.
Aku baru mengerti mengapa pohon meminta
maaf waktu itu. Tupai itu sangat pandai dan memberitahuku banyak hal tentang
musim gugur, musim salju, dan musim lainnya, tentang burung elang dan rubah
yang terkadang memangsa mereka dan lainnya. Yah, aku hanya sebuah daun yang
diam di ranting pohon. Memangnya aku bisa apa. Memangnya aku tahu apa.
Daun
akan tumbuh ketika musim semi tapi pohon tidak tumbuh semudah yang kau
bayangkan.
Kata-kata tupai itu terus terngiang.
Sebenarnya kondisi pohon sangat
menyedihkan aku bisa merasakan energi yang mengalir padaku darinya mulai
melemah. Apa dia tidak berusaha mempertahankanku? Mempertahankan para daun?
“Apa kau mau pergi sekarang?” sapa angin
kali ini.
Aku melirik pohon yang masih murung.
“Tidak. Pohon masih membutuhkanku,” sahutku.
Bahkan aku tidak begitu yakin dengan kata-kataku kali ini.
###
Warnaku mulai coklat. Setiap saat aku
melemah tapi aku masih ingin bersama pohon walau ia tak menginginkanku.
Aku tahu kami pada daun coklat tak akan
bisa melewati kondisi seperti ini. Semua daun coklat harus gugur tapi aku pikir
aku bisa menjadi daun yang beruntung bisa melewati musim gugur dan musim salju.
Kemudian bertemu beberapa daun baru di musim semi dan lebih dekat dengan pohon.
###
Hari semakin dingin. Angin semakin kuat
berhembus. Pohon semakin lemah. Dan aku semakin coklat.
Aku memandang daun lainnya yang masih
berwarna kehijauan. Mungkin aku adalah daun tercoklat di pohon ini.
“Apa kau siap untuk pergi?” tanya angin.
Aku menghela napas. “Apa kau bisa
melepaskanku?”
“Jika kau mau.”
Aku melirik ke arah pohon. Demi setiap
daun yang ada di dunia ini aku tidak mau meninggalkan pohon. Namun, seperti
yang dikatakan tupai aku harus gugur.
“Kumohon bertahanlah. Ketika musim-musim
berganti tetaplah menjadi dirimu yang tertawa dan tersenyum bahkan ketika musim
seperti ini datang. Kami hanya daun dan sudah kewajiban kami untuk gugur dan
menyelamatkanmu. Bukan menyelamatkan,” ralatku. “Tapi membalas apa yang sudah
kau berikan kepada kami yaitu dunia ini.”
Aku bisa merasakan kesedihan pohon. “Ini
bukan salahmu.”
Aku memberi isyarat pada angin. Ia pun
berhembus kuat. Aku mulai merasakan tangkaiku melemah. Sebagian diriku rapuh.
Aku terbang melayang dan kemudian jatuh tepat di akar pohon yang masih menyembul.
“Bertahanlah, aku mencintaimu,” bisikku.
###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar