Sabtu, 24 Agustus 2013

DAUN part 1


Hari itu hari pertama aku melihat dunia. Dari awal saja aku tahu aku akan menyukai dunia ini. Hariku disapa matahari yang memberi energi dan kehangatan. Kegelapan malam tak pernah menakutkan karena ada bulan. Belum lagi para kumbang, kupu-kupu dan burung gereja.
Aku masih sebuah pucuk bewarna hijau muda belum tahu jika dunia tidak seindah kelihatannya. Saat itu semua daun panik karena ada ulat bulu yang datang. Aku tidak mengerti mengapa mereka sepanik itu.
Ulat bulu tersebut berjalan dengan menekuk-nekuk perutnya. Betapa menyakitkan, pikirku.
“Jangan aku, kumohon!”  ronta salah satu daun yang warnanya sudah hijau tua.
Aku melihat ulat tersebut menggumankan sesuatu tapi tak jelas. Sedetik kemudian ia menggerogoti daun tersebut. Daun itu terus meronta sementara ulat bulu menghabisinya perlahan-lahan.
“Hentikan!” teriakku. Aku tidak tahan dengan pemandangan ini.
“Hey apa yang kau lakukan?” bisik daun di ranting sebelah.
Ulat bulu itu menatapku. Matanya tiba-tiba ganas. Ia berjalan mendekatiku perlahan. Aku ketakutan, sangat ketakutan. Aku meronta. Ulat bulu itu semakin dekat.
Tiba-tiba pohon bergerak dengan kuat. Ia mengibaskan ranting dengan sangat kuat. Sampai ulat terjatuh ke tanah.
“Terimakasih,” kataku pada pohon.
“Aku tidak akan membiarkan para ulat bulu memakan pucuk-pucuk baru sepertimu,” sahutnya disusul dengan sebuah senyum simpul.
Ia kembali berdiri tegak, kokoh, menantang matahari. Ia sangat gagah. Ia tampak sangat menawan.
###

Aku diajari oleh daun di sebelahku untuk melakukan pekerjaanku agar aku tetap hidup. Dengan mulut kami, kami menangkap energi cahaya matahari beberntuk gelombang dan karbondioksida untuk makanan pohon. Jika pohon sehat maka kami juga.
Kini bentukku tak hanya sebuah pucuk. Aku daun sekarang walau warnaku masih hijau muda. Aku menjalani hariku seperti biasa, menyapa pohon di pagi hari, berbincang dengannya ketika siang hari, ia juga selalu menyelamatkanku jika ada ulat bulu yang berusaha mendekatiku.
Aku rasa aku menyukainya. Ah, tidak, aku sangat sangat sangat menyukainya.
“Hey, kau pasti menyukai pohon kan?” kata seekor burung gereja.
Aku tersenyum. Aku bisa merasakan pipiku merona.
“Sudah kuduga. Semua daun di pohon ini juga begitu.” Ia melirik kearah daun-daun yang berwarna hijau tua yang berada dekat dengan pohon.
Mereka begitu indah dan bentuk mereka sangat bagus. Mereka juga sudah berada di cabang bukan di ranting seperti aku. Ukuran kecantikan daun adalah dari warnanya. Semakin hijau maka semakin cantik. Akan tetapi untuk mendapatkan warna hijau menyala para daun harus berjemur di bawah matahari.
Aku juga baru sadar kalau ternyata pohon juga menyapa, berbicang dan bercanda dengan daun-daun lain. Tiba-tiba saja aku merasa kesal dengan semua itu.
“Apakah semua pohon seperti itu?” tanyaku pada burung gereja.
Ia berpikir sejenak, “mungkin,” sahutnya. “Aku sudah menjalani banyak pohon dan aku rasa mereka melakukan hal yang sama. Apalagi pohon seperti pohon oak yang memiliki banyak sekali daun-daun indah.” Burung gereja pun terbang entah kemana.
Sudah bisa kupastikan raut wajahku berubah drastis.
“Mengapa wajahmu muram?” tanya pohon tiba-tiba.
Aku kaget ketika ia menggoyang-goyakang rantingku. Kemudian ia tertawa.
“Apa ada yang mengganggumu?”
Aku menggeleng.
Ia kembali menggoyang-goyangkan rantingku dan tertawa lagi. Aku tahu ia berusaha menghiburku dan aku tak tahan untuk tak ikut tertawa bersamanya. Andai saja ia tahu aku tidak suka jika ia dekat dengan daun-daun lain.
“Cepatlah tumbuh agar kau bisa dekat denganku.”
Apa kata pohon? Ia ingin aku lebih dekat dengannya?
###

Belakangan ini matahari bersinar sangar cerah. Sekedar info, warna daunku sudah semakin hijau dan aku bertambah besar meski masih di ranting. Aku semakin cantik. Kata daun-daun yang sudah lebih tua perlu waktu yang lama agar ranting berubah jadi cabang.
Tiba-tiba ada guncangan kuat. Ah, ternyata pohon yang melakukannya lagi.
“Selamat pagi, pucuk!” sapa pohon pada pucuk yang baru tumbuh di seberang rantingku.
Pucuk baru itu pun tersenyum malu-malu.
“Jangan makan aku!” teriakan salah satu daun yang letaknya agak jauh dariku membuat semua daun kaget.
Aku melirik ke arah pohon.
Tapi pohon tak bergeming.
“Tolong aku!” teriak daun itu lagi ketika ulat semakin dekat dengannya.
Pohon masih diam saja.
“Hey apa yang kau lakukan?” bisikku pada pohon.
Pohon melirikku. “Aku harus melakukannya. Ulat memerlukan daun untuk dimakan. Itu adalah salah satu fungsi kalian. Lagi pula daun itu sudah tua.”
Aku terkejut dengan jawaban pohon. “Apa kau akan melakukan hal yang sama padaku jika aku tua nanti?”
Pohon kembali diam.
Suara ronta daun tadi sudah berhenti. Dia telah habis.
###

Aku jarang berbicara dengan pohon semenjak kejadian itu.
Jujur saja aku sedih. Dia temanku yang selalu kuajak berbicara dan rasanya sangat menyakitkan jika tiba-tiba kami tak saling sapa lagi. Tapi aku juga merasa kesal dengan sikap tak pedulinya.
“Hey, mengapa wajahmu bersedih?” sapa angin.
Aku hanya diam dan tersenyum sopan padanya.
“Mau melihat sesuatu yang indah?” kata angin lagi.
Ia mengibaskan anginnya sehingga pandangku menjurus ke aras sebuah tumbuhan rendah dengan bunga-bunga merah di sekitarnya. “Apa?” tanyaku tak mengerti. Aku tidak begitu suka dengan bunga. Kebanyakan dari mereka sombong karena memiliki warna-warna yang indah dan mereka terlalu sering menggosip.
“Lihat yang menggantung di tanaman itu.”
Benda itu berwarna coklat kehitaman dan kering. Sama sekali tak indah.
“Itu namanya kepompong.”
Benda itu bergerak. Beberapa saat diam, kemudian bergerak lagi.
“Apa indahnya melihat kepompong yang bergerak?” gerutuku.
“Lihatlah sebentar lagi.” Mohon angin.
Tiba-tiba kepompong itu retak. Perlahan keluar sayap berwarna merah dengan garis hitam. Lalu keluar seekor binatang yang kukenal. Kupu-kupu!
“Indahnya,” kata angin.
“Benar-benar indah,” bisikku pelan.
Kupu-kupu itu terbang ke arah kami. “Sekarang aku tidak akan memakan daun. Aku akan mengganggu bunga dan mendengar apa yang mereka gosipkan.” Kupu-kupu itu tertawa sembil mengepak-ngepakan sayapnya.
“Kupu-kupu tadinya makan daun?”
“Kau benar-benar tidak tahu ya?”
Aku menggeleng.
“Mereka tadinya adalah ulat bulu. Seperti sebuah keajaiban mereka hanya memerlukan beberapa waktu agar bisa berubah,” jelas angin.
Menjadi kupu-kupu pasti sangat menyenangkan. Memiliki sayap yang cantik, dapat terbang bebas, dan tidak terjebak oleh satu pohon.
###

baca DAUN part 2 di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar