Sudah
enam bulan aku menunggunya di sini, ia tidak datang juga. Setahun, batang
hidungnya belum juga terlihat. Aku mulai putus asa dan berpikir apa yang Anna
harapkan dari laki-laki sepertiku. Mungkin cibiran itu benar.
Salju
semakin tebal setiap tahun, dan kondisi fisikku semakin lemah. Aku memaki
waktu.
Kepalaku
agak sedikit pusing, dan padanganku memudar. Salju sudah menutupi setengah
tubuhku. Orang-orang mencoba memindahkanku tapi aku meronta. Aku takut kalau
Anna tiba-tiba datang.
Aku
tidak kuat lagi. Badanku mulai lemas. Sekarang aku sudah meringkuk di tumpukan
salju. Mataku perlahan terpejam.
“Toni,
Toni, Toni.” Suara lembut itu membangunkan.
“Tidak
mungkin!” suaraku tertahan di tenggorokan. ANNA?!
“Long
time no see,” Anna tersenyum. Tangannya meraih tangan kiriku, aku bangkit
perlahan. “Apa kabar?”
Aku
tidak menghiraukan pertanyaannya. “Kamu dari mana saja?” Air mataku sudah
menetes. Dasar pria cengeng!
Ia
melingkarkan tangannya pada pinggangku. “Melakukan perjalanan jauh.”
Salju
benar-benar sudah menutupi kota. Kota sangat sepi. Ah, pasti mereka semua sudah
berada di rumah, menghangatkan diri di depan perapian. Di tengah puith-putih
ini yang ada hanya aku, Anna dan pohon maple. Sejak kapan banyak pohon maple di
sini?!
Aku
menyelesaikan lamunanku kembali fokus pada sang hasrat yang sudah di depan
mataku. “Apa sekarang perjalananmu sudah selesai?”
Anna
menggeleng, “aku ingin mengajakmu ikut denganku.”
“Kemana?”
Lagi-lagi aku mengernyitkan dahi.
“Ayolah,”
sahut Anna dengan sedikit tertawa.
Kami
berjalan terus menapaki salju putih melewati setiap pohon maple sampai kami
kembali ke hutan itu duduk di pohon maple seperti dahulu.
Seorang
pria berpakaian rapih menghampiriku. Seperti biasa aku akan mengatakan kalimat
kebangsaanku padanya, kalimat yang akan ribuan kali aku ucapkan setiap harinya.
“Jika Bapak melihat wanita ini, tolong katakan saya ada di sini.”
“Mengapa
tidak mencari wanita lain?” tanyanya.
Aku
tertegun sesaat. Baru kali ini ada yang berkata seperti itu padaku setelah
sepuluh hari lebih aku di tempat ini. Aku tersenyum menatap pria tua itu
kemudian beralih menatap foto wanitaku. “Bagaimana aku bisa dengan wanita lain
kalau aku masih sangat mencintainya.”
“Mari
ikut denganku,” sahutnya.
Dengan
sopan kutepis tangannya dari bahuku, “tidak terimakasih, biar aku menunggunya
saja, di sini.” Dan pria itu pun berlalu.
Begitulah
hari-hari berlalu. Tapi aku juga tidak bergerak dari tempat ini.
@@@
Setelah
hampir sebulan aku di tempat ini seorang polisi menghampiriku.
“Nak,
kau tidak bisa tinggal di tempat ini,” kata polisi itu
“Aku
bukan gelandangan, bukan orang gila, hanya saja ada seseorang yang aku tunggu
meskipun ia akan datang besok, bulan depan, atau tahun depan.”
Kamu
tahu wanita itu akan aku tunggu sampai kapanpun, walau panas, hujan, atau
salju. Jika pada akhirnya wanitaku berubah pikiran, di tempat inilah yang harus
ia tuju pertama kali.
Aku
lupa menceritakan bagian penting. Momen di mana dia benar-benar meninggalkanku
pada akhirnya.
Di
kejadian sebelumnya dia hanya pergi selama beberapa hari untuk keluar kota. Aku
sempat panik setengah mati dan menyalahkan diri sendiri atas pertanyaanku yang
bodoh. Kami berteman cukup lama, hampir tiga tahun. Apakah kami pernah
bertengkar? Tidak, kami hanya lebih sering berdebat tentang cuaca, hutan, bahkan
teori Darwin. Aku terlalu mencintainya untuk bertengkar dengannya.
Suatu
hari dia datang padaku setengah berlari. Aku sudah berdiri menunggunya di bawah
pohon maple. Dia memakai gaun yang sama.
“Aku
mencintaimu, Toni.” Nafasnya masih memburu.
Aku
terkejut setengah mati. “Anna tenanglah, ada apa?”
“Aku
mencintaimu, Toni.” Sekarang air matanya jatuh.
Dia
sungguh-sungguh. Aku sangat senang tapi juga sedih, mengapa tidak aku duluan
yang mengucapkan kalimat itu. Dasar laki-laki bodoh! “Aku juga mencintaimu,
Anna.”
Dia
tersenyum lalu menghambur ke arahku dan memelukku erat. Sangat erat. Entah
mengapa aku merasa sesak di dadaku. Bukan karena pelukannya tapi suatu perasaan
aneh, perasaan buruk.
Air
matanya membasahi bajuku. Dia terisak. Tangisannya sangat pedih membuatku
bingung mengapa dia mengatakan cinta padaku dengan perasaan seperti ini.
“Maafkan
aku, Toni.” Dia melepaskan pelukannya dan berlari pergi. Pergi meninggalkanku.
Aku tidak tahu kalau itu berlangsung sampai hari ini. Dia tidak pernah kembali.
Sebulan
pertama aku masih menunggunya. Setahun kemudian aku masih berdiri di tempat
yang sama. Tapi ia tidak pernah datang. Anna orang sangat sulit dimengerti.
Akhirnya aku meninggalkan hutan itu dan hidup di kota besar di sebuah negara
maju dan tidak pernah pulang selama hampir delapan tahun.
Selama
ini aku menganggap Anna hanya cinta pertama yang pergi dan aku akan mendapatkan
yang lebih baik darinya. Ternyata tidak, aku hanya mencintai satu wanita dan
dia adalah Anna. Aku sudah mengencani lebih dari 20 gadis selama delapan tahun
ini tapi tidak ada yang mencintai pohon maple dan bunga marigold seperti Anna.
Ya, hanya Anna.
Seorang
pria pernah datang padaku dan berkata “hidup
terlalu singkat untuk merelakan sesuatu yang sangat berharga bagi kita”. Aku
tak pernah mengira Anna lah satu-satunya hasrat dalam hidupku. Benda berharga.
Dan alasan mengapa aku mendatangi berbagai tempat di negara ini untuk melihat
pohon maple. Alasan mengapa aku memimpikannya. Alasan aku hidup.
Aku
mulai mencarinya di jejaring sosial, internet, bertanya pada paman pemilik
kebun anggur apakah dia mengenal Anna. Hasilnya nol! Jadi aku putuskan kembali
ke hutan itu dan menunggunya. Hutan yang sekarang sudah bermetamorfosa.
Di
sini aku sekarang. Aku tahu setelah lebih dari sembilan tahun kecil kemungkinan
dia akan datang kemari. Tapi aku tidak peduli. Aku mau Anna!
“Jika suatu hari nanti kamu sadar bahwa
kamu merindukan aku.
Kamu tahu di mana aku.
Sampai kamu melihat aku menunggu kamu di
sudut kota.”
Jalanan
ini dulu jalanan setapak, di mana sepatumu akan penuh lumpur di bulan hujan.
Atau kamu akan bersenggolan dengan ilalang nakal. Jika pada pagi hari kamu
melewati jalanan ini, hidungmu akan digelitik dengan bau klorofil. Atau hamparan
bunga marigold kuning dan merah di sisi kananmu serta padang rumput nan hijau
di sisi kirimu. Kamu juga bisa melihat deretan pohon pinus di kejauhan.
Tapi
sekarang lihatlah, jalanan ini bukan lagi jalanan setapak, jalanan ini sudah
diaspal dan bertambah lebar bahkan dapat dilewati tiga bis sekaligus. Tidak ada
lagi pohon pinus, bunga marigold, atau rumput. Sekarang ada restoran siap saji,
beberapa pertokoan barang elektronik, minimarket,
bengkel, juga pom bensin. Sekarang pandanganmu dibatasi oleh gedung penyimpan
uang yang menjulang tinggi ke angkasa.
Di
sinilah aku berdiri. Di tempat yang sama, di mana aku dan wanitaku pertama kali
bertemu. Disebelah pohon maple yang
sama di samping trotoar dekat dengan gedung tinggi itu. Kugelar kasur lipatku,
aku duduk di atasnya. Kukeluarkan papan tulis bekas paman dulu, kutuliskan
namamu dan gambar wajahmu hasil karyaku di tangan kiri. Pada setiap orang yang
lewat aku akan berkata, “jika kamu melihat wanita ini, tolong katakan saya ada
di sini”. Beberapa mencibir, sebagian lagi mengira aku gila, beberapa orang
bahkan ada yang memberikan aku uang. Mereka tidak mengerti! Aku bukan orang
gila! Bukan pengemis! Aku hanya pria yang patah hati.
Walaupun
pada akhirnya yang aku lakukan tidak ada gunanya aku akan tetap bertahan di
sini. Apa lagi yang dapat kulakukan selain ini?
@@@
Masih
teringat jelas bagaimana aku pertama kali mencintainya. Dia, wanitaku duduk di
bawah pohon maple dengan gaun putih
selutut dan rambut coklat yang tergerai sebahu membingkai wajahnya dengan
sangat apik. Hanya sekilas namun sangat berbekas.
Setiap
sore dia akan mengunjungi pohon itu. Menuliskan entah apa pada buku bersampul
pelepah pisang kering yang ia hias dengan bunga marigold warna kuning.
Terkadang aku melihatnya menangis. Tapi aku hanya bisa melihatnya dari
kejauhan. Terlalu muda dan bodoh untuk menghampiri wanita itu.
Suatu
ketika entah atas dorongan nenek moyang dari mana aku menghampirinya.
“Sekarang
kau ingin melihatku dari dekat?” tanyannya. Aku tersentak. Jadi selama ini dia
tahu aku memperhatikannya?!
“Aku...
aku..” Aku mulai mengutuki diriku yang selalu gagap di saat penting seperti
ini.
“Namaku
Anna, kamu?” dia menatapku dan tersenyum. Ah, senyuman itu selalu bisa
melelehkanku.
“Aku
Tino.” Aku sigap duduk di sebelahnya.
“Jadi
apa yang kau lakukan selama ini di sini? Maksudku, selain mengintipiku?”
Aku
malu sekali dia berkata seperti itu. “Aku bekerja di kebun anggur itu.” Aku
menunjuk pagar kawat tinggi sebelah utara. “Kamu? Apa yang kamu lakukan?”
“Aku
menulis surat.”
“Setiap
hari? Untuk siapa?”
“Untuk
diriku sendiri.”
Aku
mengenyitkan dahi. “Maksudmu semacam buku harian?”
“Mungkin.”
Begitulah
pembicaraan pertama kami. Sangat standar, tapi aku sangat menyukai momen ini
entah mengapa. Kami mejalin pertemanan di bawah pohon mapel. Bercerita tentang
apa yang kami alami sepanjang hari. Mengumpulkan daun maple dan membuat nama
kami dengan daun itu. Kadang berlari mengejar kupu-kupu atau memanjat pohon. Sampai
suatu ketika aku sadar kalau dia tidak pernah menulis buku harian lagi.
“Mana
buku harianmu?” tanyaku.
“Aku
sudah tidak menulisnya lagi,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kenapa?”
“Karena
aku sudah punya teman sekarang?”
Lagi-lagi
aku mengenyitkan dahi. Dia sedikit misterius. “Memangnya selama ini?”
Dia
tidak menjawab dan pergi begitu saja.
Esok
hari dia tidak datang karena hujan. Hari berikutnya dia tidak datang lagi. Aku
bingung, apakah ada kata-kataku yang salah dan membuatnya tersinggung. Aku
berniat menyusul ke tempatnya tapi aku tidak tahu di mana. Hutan ini punya
banyak jalan dan ia selalu pulang dengan jalan yang berbeda. Tentu saja aku
sudah pernah menanyakan di mana rumahnya, tapi lagi-lagi dia diam. Aku tidak
pernah menanyakan hal itu lagi padanya.