Selasa, 07 Mei 2013

CERPEN: Pria Sudut Kota Part III

baca cerita sebelumnya di sini
PRIA SUDUT KOTA PART III


            Sudah enam bulan aku menunggunya di sini, ia tidak datang juga. Setahun, batang hidungnya belum juga terlihat. Aku mulai putus asa dan berpikir apa yang Anna harapkan dari laki-laki sepertiku. Mungkin cibiran itu benar.
            Salju semakin tebal setiap tahun, dan kondisi fisikku semakin lemah. Aku memaki waktu.
            Kepalaku agak sedikit pusing, dan padanganku memudar. Salju sudah menutupi setengah tubuhku. Orang-orang mencoba memindahkanku tapi aku meronta. Aku takut kalau Anna tiba-tiba datang.
            Aku tidak kuat lagi. Badanku mulai lemas. Sekarang aku sudah meringkuk di tumpukan salju. Mataku perlahan terpejam.
            “Toni, Toni, Toni.” Suara lembut itu membangunkan.
            “Tidak mungkin!” suaraku tertahan di tenggorokan. ANNA?!
            “Long time no see,” Anna tersenyum. Tangannya meraih tangan kiriku, aku bangkit perlahan. “Apa kabar?”
            Aku tidak menghiraukan pertanyaannya. “Kamu dari mana saja?” Air mataku sudah menetes. Dasar pria cengeng!
            Ia melingkarkan tangannya pada pinggangku. “Melakukan perjalanan jauh.”
            Salju benar-benar sudah menutupi kota. Kota sangat sepi. Ah, pasti mereka semua sudah berada di rumah, menghangatkan diri di depan perapian. Di tengah puith-putih ini yang ada hanya aku, Anna dan pohon maple. Sejak kapan banyak pohon maple di sini?!
            Aku menyelesaikan lamunanku kembali fokus pada sang hasrat yang sudah di depan mataku. “Apa sekarang perjalananmu sudah selesai?”
            Anna menggeleng, “aku ingin mengajakmu ikut denganku.”
            “Kemana?” Lagi-lagi aku mengernyitkan dahi.
            “Ayolah,” sahut Anna dengan sedikit tertawa.
            Kami berjalan terus menapaki salju putih melewati setiap pohon maple sampai kami kembali ke hutan itu duduk di pohon maple seperti dahulu.

T A M A T



CERPEN: Pria Sudut Kota Part II

baca cerita sebelumnya di sini


PRIA SUDUT KOTA PART II


            Seorang pria berpakaian rapih menghampiriku. Seperti biasa aku akan mengatakan kalimat kebangsaanku padanya, kalimat yang akan ribuan kali aku ucapkan setiap harinya. “Jika Bapak melihat wanita ini, tolong katakan saya ada di sini.”
            “Mengapa tidak mencari wanita lain?” tanyanya.
            Aku tertegun sesaat. Baru kali ini ada yang berkata seperti itu padaku setelah sepuluh hari lebih aku di tempat ini. Aku tersenyum menatap pria tua itu kemudian beralih menatap foto wanitaku. “Bagaimana aku bisa dengan wanita lain kalau aku masih sangat mencintainya.”
            “Mari ikut denganku,” sahutnya.
            Dengan sopan kutepis tangannya dari bahuku, “tidak terimakasih, biar aku menunggunya saja, di sini.” Dan pria itu pun berlalu.
            Begitulah hari-hari berlalu. Tapi aku juga tidak bergerak dari tempat ini.
@@@

            Setelah hampir sebulan aku di tempat ini seorang polisi menghampiriku.
            “Nak, kau tidak bisa tinggal di tempat ini,” kata polisi itu
        “Aku bukan gelandangan, bukan orang gila, hanya saja ada seseorang yang aku tunggu meskipun ia akan datang besok, bulan depan, atau tahun depan.”
            Kamu tahu wanita itu akan aku tunggu sampai kapanpun, walau panas, hujan, atau salju. Jika pada akhirnya wanitaku berubah pikiran, di tempat inilah yang harus ia tuju pertama kali.
            Aku lupa menceritakan bagian penting. Momen di mana dia benar-benar meninggalkanku pada akhirnya.
            Di kejadian sebelumnya dia hanya pergi selama beberapa hari untuk keluar kota. Aku sempat panik setengah mati dan menyalahkan diri sendiri atas pertanyaanku yang bodoh. Kami berteman cukup lama, hampir tiga tahun. Apakah kami pernah bertengkar? Tidak, kami hanya lebih sering berdebat tentang cuaca, hutan, bahkan teori Darwin. Aku terlalu mencintainya untuk bertengkar dengannya.
            Suatu hari dia datang padaku setengah berlari. Aku sudah berdiri menunggunya di bawah pohon maple. Dia memakai gaun yang sama.
            “Aku mencintaimu, Toni.” Nafasnya masih memburu.
            Aku terkejut setengah mati. “Anna tenanglah, ada apa?”
            “Aku mencintaimu, Toni.” Sekarang air matanya jatuh.        
            Dia sungguh-sungguh. Aku sangat senang tapi juga sedih, mengapa tidak aku duluan yang mengucapkan kalimat itu. Dasar laki-laki bodoh! “Aku juga mencintaimu, Anna.”
            Dia tersenyum lalu menghambur ke arahku dan memelukku erat. Sangat erat. Entah mengapa aku merasa sesak di dadaku. Bukan karena pelukannya tapi suatu perasaan aneh, perasaan buruk.
            Air matanya membasahi bajuku. Dia terisak. Tangisannya sangat pedih membuatku bingung mengapa dia mengatakan cinta padaku dengan perasaan seperti ini.
            “Maafkan aku, Toni.” Dia melepaskan pelukannya dan berlari pergi. Pergi meninggalkanku. Aku tidak tahu kalau itu berlangsung sampai hari ini. Dia tidak pernah kembali.
            Sebulan pertama aku masih menunggunya. Setahun kemudian aku masih berdiri di tempat yang sama. Tapi ia tidak pernah datang. Anna orang sangat sulit dimengerti. Akhirnya aku meninggalkan hutan itu dan hidup di kota besar di sebuah negara maju dan tidak pernah pulang selama hampir delapan tahun.
            Selama ini aku menganggap Anna hanya cinta pertama yang pergi dan aku akan mendapatkan yang lebih baik darinya. Ternyata tidak, aku hanya mencintai satu wanita dan dia adalah Anna. Aku sudah mengencani lebih dari 20 gadis selama delapan tahun ini tapi tidak ada yang mencintai pohon maple dan bunga marigold seperti Anna. Ya, hanya Anna.
            Seorang pria pernah datang padaku dan berkata “hidup terlalu singkat untuk merelakan sesuatu yang sangat berharga bagi kita”. Aku tak pernah mengira Anna lah satu-satunya hasrat dalam hidupku. Benda berharga. Dan alasan mengapa aku mendatangi berbagai tempat di negara ini untuk melihat pohon maple. Alasan mengapa aku memimpikannya. Alasan aku hidup.
            Aku mulai mencarinya di jejaring sosial, internet, bertanya pada paman pemilik kebun anggur apakah dia mengenal Anna. Hasilnya nol! Jadi aku putuskan kembali ke hutan itu dan menunggunya. Hutan yang sekarang sudah bermetamorfosa.
            Di sini aku sekarang. Aku tahu setelah lebih dari sembilan tahun kecil kemungkinan dia akan datang kemari. Tapi aku tidak peduli. Aku mau Anna!
@@@

(bersambung) 


CERPEN: Pria Sudut Kota


PRIA SUDUT KOTA
Oleh Agnesia Grace


“Jika suatu hari nanti kamu sadar bahwa kamu merindukan aku.
Kamu tahu di mana aku.
Sampai kamu melihat aku menunggu kamu di sudut kota.”


            Jalanan ini dulu jalanan setapak, di mana sepatumu akan penuh lumpur di bulan hujan. Atau kamu akan bersenggolan dengan ilalang nakal. Jika pada pagi hari kamu melewati jalanan ini, hidungmu akan digelitik dengan bau klorofil. Atau hamparan bunga marigold kuning dan merah di sisi kananmu serta padang rumput nan hijau di sisi kirimu. Kamu juga bisa melihat deretan pohon pinus di kejauhan.
            Tapi sekarang lihatlah, jalanan ini bukan lagi jalanan setapak, jalanan ini sudah diaspal dan bertambah lebar bahkan dapat dilewati tiga bis sekaligus. Tidak ada lagi pohon pinus, bunga marigold, atau rumput. Sekarang ada restoran siap saji, beberapa pertokoan barang elektronik, minimarket, bengkel, juga pom bensin. Sekarang pandanganmu dibatasi oleh gedung penyimpan uang yang menjulang tinggi ke angkasa.
            Di sinilah aku berdiri. Di tempat yang sama, di mana aku dan wanitaku pertama kali bertemu. Disebelah pohon maple yang sama di samping trotoar dekat dengan gedung tinggi itu. Kugelar kasur lipatku, aku duduk di atasnya. Kukeluarkan papan tulis bekas paman dulu, kutuliskan namamu dan gambar wajahmu hasil karyaku di tangan kiri. Pada setiap orang yang lewat aku akan berkata, “jika kamu melihat wanita ini, tolong katakan saya ada di sini”. Beberapa mencibir, sebagian lagi mengira aku gila, beberapa orang bahkan ada yang memberikan aku uang. Mereka tidak mengerti! Aku bukan orang gila! Bukan pengemis! Aku hanya pria yang patah hati.
            Walaupun pada akhirnya yang aku lakukan tidak ada gunanya aku akan tetap bertahan di sini. Apa lagi yang dapat kulakukan selain ini?
@@@

            Masih teringat jelas bagaimana aku pertama kali mencintainya. Dia, wanitaku duduk di bawah pohon maple dengan gaun putih selutut dan rambut coklat yang tergerai sebahu membingkai wajahnya dengan sangat apik. Hanya sekilas namun sangat berbekas.
            Setiap sore dia akan mengunjungi pohon itu. Menuliskan entah apa pada buku bersampul pelepah pisang kering yang ia hias dengan bunga marigold warna kuning. Terkadang aku melihatnya menangis. Tapi aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Terlalu muda dan bodoh untuk menghampiri wanita itu.
            Suatu ketika entah atas dorongan nenek moyang dari mana aku menghampirinya.
            “Sekarang kau ingin melihatku dari dekat?” tanyannya. Aku tersentak. Jadi selama ini dia tahu aku memperhatikannya?!
            “Aku... aku..” Aku mulai mengutuki diriku yang selalu gagap di saat penting seperti ini.
            “Namaku Anna, kamu?” dia menatapku dan tersenyum. Ah, senyuman itu selalu bisa melelehkanku.
            “Aku Tino.” Aku sigap duduk di sebelahnya.
            “Jadi apa yang kau lakukan selama ini di sini? Maksudku, selain mengintipiku?”
            Aku malu sekali dia berkata seperti itu. “Aku bekerja di kebun anggur itu.” Aku menunjuk pagar kawat tinggi sebelah utara. “Kamu? Apa yang kamu lakukan?”
            “Aku menulis surat.”
            “Setiap hari? Untuk siapa?”
            “Untuk diriku sendiri.”
            Aku mengenyitkan dahi. “Maksudmu semacam buku harian?”
            “Mungkin.”
            Begitulah pembicaraan pertama kami. Sangat standar, tapi aku sangat menyukai momen ini entah mengapa. Kami mejalin pertemanan di bawah pohon mapel. Bercerita tentang apa yang kami alami sepanjang hari. Mengumpulkan daun maple dan membuat nama kami dengan daun itu. Kadang berlari mengejar kupu-kupu atau memanjat pohon. Sampai suatu ketika aku sadar kalau dia tidak pernah menulis buku harian lagi.
            “Mana buku harianmu?” tanyaku.
            “Aku sudah tidak menulisnya lagi,” jawabnya sambil tersenyum.
            “Kenapa?”
            “Karena aku sudah punya teman sekarang?”
            Lagi-lagi aku mengenyitkan dahi. Dia sedikit misterius. “Memangnya selama ini?”
            Dia tidak menjawab dan pergi begitu saja.
            Esok hari dia tidak datang karena hujan. Hari berikutnya dia tidak datang lagi. Aku bingung, apakah ada kata-kataku yang salah dan membuatnya tersinggung. Aku berniat menyusul ke tempatnya tapi aku tidak tahu di mana. Hutan ini punya banyak jalan dan ia selalu pulang dengan jalan yang berbeda. Tentu saja aku sudah pernah menanyakan di mana rumahnya, tapi lagi-lagi dia diam. Aku tidak pernah menanyakan hal itu lagi padanya.
@@@

(bersambung)

PUISI: Sisa Hitam


Habis warna itu berlalu
Warna hangat malu-malu
Sia-sia merah dan putih menyatu

Warna yang ku cipta
Awalnya putih
Samar-samar oleh waktu
Lalu lekat jelas terlihat hangat
Hangat menyala yang ku kira selamanya

Pudar tak akan kubiarkan
Tak rela aku warna lain mengganggunya
Terlalu tekad aku bertahan, kurasa

Biru mengalir perlahan surut
Waktu menelannya sedikit demi sedikit
Hitam menetes setitik demi setitik

Mengadahkan tangan menampung hitam
Apa daya tak terbendung lagi
Tumpah!
Abu-Abu!
Panjang beranak sungai
Biru terhempas!
Putih meredam!
Merah tenggelam!

Hitam
Biarkan saja!
Hitam
Lupakan saja!

Sudah hitam
Terlanjur hitam
Sisa hitam
Dan beruntung hanya hitam

Medan, Januari 2011