PRIA SUDUT KOTA PART II
Seorang
pria berpakaian rapih menghampiriku. Seperti biasa aku akan mengatakan kalimat
kebangsaanku padanya, kalimat yang akan ribuan kali aku ucapkan setiap harinya.
“Jika Bapak melihat wanita ini, tolong katakan saya ada di sini.”
“Mengapa
tidak mencari wanita lain?” tanyanya.
Aku
tertegun sesaat. Baru kali ini ada yang berkata seperti itu padaku setelah
sepuluh hari lebih aku di tempat ini. Aku tersenyum menatap pria tua itu
kemudian beralih menatap foto wanitaku. “Bagaimana aku bisa dengan wanita lain
kalau aku masih sangat mencintainya.”
“Mari
ikut denganku,” sahutnya.
Dengan
sopan kutepis tangannya dari bahuku, “tidak terimakasih, biar aku menunggunya
saja, di sini.” Dan pria itu pun berlalu.
Begitulah
hari-hari berlalu. Tapi aku juga tidak bergerak dari tempat ini.
@@@
Setelah
hampir sebulan aku di tempat ini seorang polisi menghampiriku.
“Nak,
kau tidak bisa tinggal di tempat ini,” kata polisi itu
“Aku
bukan gelandangan, bukan orang gila, hanya saja ada seseorang yang aku tunggu
meskipun ia akan datang besok, bulan depan, atau tahun depan.”
Kamu
tahu wanita itu akan aku tunggu sampai kapanpun, walau panas, hujan, atau
salju. Jika pada akhirnya wanitaku berubah pikiran, di tempat inilah yang harus
ia tuju pertama kali.
Aku
lupa menceritakan bagian penting. Momen di mana dia benar-benar meninggalkanku
pada akhirnya.
Di
kejadian sebelumnya dia hanya pergi selama beberapa hari untuk keluar kota. Aku
sempat panik setengah mati dan menyalahkan diri sendiri atas pertanyaanku yang
bodoh. Kami berteman cukup lama, hampir tiga tahun. Apakah kami pernah
bertengkar? Tidak, kami hanya lebih sering berdebat tentang cuaca, hutan, bahkan
teori Darwin. Aku terlalu mencintainya untuk bertengkar dengannya.
Suatu
hari dia datang padaku setengah berlari. Aku sudah berdiri menunggunya di bawah
pohon maple. Dia memakai gaun yang sama.
“Aku
mencintaimu, Toni.” Nafasnya masih memburu.
Aku
terkejut setengah mati. “Anna tenanglah, ada apa?”
“Aku
mencintaimu, Toni.” Sekarang air matanya jatuh.
Dia
sungguh-sungguh. Aku sangat senang tapi juga sedih, mengapa tidak aku duluan
yang mengucapkan kalimat itu. Dasar laki-laki bodoh! “Aku juga mencintaimu,
Anna.”
Dia
tersenyum lalu menghambur ke arahku dan memelukku erat. Sangat erat. Entah
mengapa aku merasa sesak di dadaku. Bukan karena pelukannya tapi suatu perasaan
aneh, perasaan buruk.
Air
matanya membasahi bajuku. Dia terisak. Tangisannya sangat pedih membuatku
bingung mengapa dia mengatakan cinta padaku dengan perasaan seperti ini.
“Maafkan
aku, Toni.” Dia melepaskan pelukannya dan berlari pergi. Pergi meninggalkanku.
Aku tidak tahu kalau itu berlangsung sampai hari ini. Dia tidak pernah kembali.
Sebulan
pertama aku masih menunggunya. Setahun kemudian aku masih berdiri di tempat
yang sama. Tapi ia tidak pernah datang. Anna orang sangat sulit dimengerti.
Akhirnya aku meninggalkan hutan itu dan hidup di kota besar di sebuah negara
maju dan tidak pernah pulang selama hampir delapan tahun.
Selama
ini aku menganggap Anna hanya cinta pertama yang pergi dan aku akan mendapatkan
yang lebih baik darinya. Ternyata tidak, aku hanya mencintai satu wanita dan
dia adalah Anna. Aku sudah mengencani lebih dari 20 gadis selama delapan tahun
ini tapi tidak ada yang mencintai pohon maple dan bunga marigold seperti Anna.
Ya, hanya Anna.
Seorang
pria pernah datang padaku dan berkata “hidup
terlalu singkat untuk merelakan sesuatu yang sangat berharga bagi kita”. Aku
tak pernah mengira Anna lah satu-satunya hasrat dalam hidupku. Benda berharga.
Dan alasan mengapa aku mendatangi berbagai tempat di negara ini untuk melihat
pohon maple. Alasan mengapa aku memimpikannya. Alasan aku hidup.
Aku
mulai mencarinya di jejaring sosial, internet, bertanya pada paman pemilik
kebun anggur apakah dia mengenal Anna. Hasilnya nol! Jadi aku putuskan kembali
ke hutan itu dan menunggunya. Hutan yang sekarang sudah bermetamorfosa.
Di
sini aku sekarang. Aku tahu setelah lebih dari sembilan tahun kecil kemungkinan
dia akan datang kemari. Tapi aku tidak peduli. Aku mau Anna!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar