Selasa, 07 Mei 2013

CERPEN: Pria Sudut Kota


PRIA SUDUT KOTA
Oleh Agnesia Grace


“Jika suatu hari nanti kamu sadar bahwa kamu merindukan aku.
Kamu tahu di mana aku.
Sampai kamu melihat aku menunggu kamu di sudut kota.”


            Jalanan ini dulu jalanan setapak, di mana sepatumu akan penuh lumpur di bulan hujan. Atau kamu akan bersenggolan dengan ilalang nakal. Jika pada pagi hari kamu melewati jalanan ini, hidungmu akan digelitik dengan bau klorofil. Atau hamparan bunga marigold kuning dan merah di sisi kananmu serta padang rumput nan hijau di sisi kirimu. Kamu juga bisa melihat deretan pohon pinus di kejauhan.
            Tapi sekarang lihatlah, jalanan ini bukan lagi jalanan setapak, jalanan ini sudah diaspal dan bertambah lebar bahkan dapat dilewati tiga bis sekaligus. Tidak ada lagi pohon pinus, bunga marigold, atau rumput. Sekarang ada restoran siap saji, beberapa pertokoan barang elektronik, minimarket, bengkel, juga pom bensin. Sekarang pandanganmu dibatasi oleh gedung penyimpan uang yang menjulang tinggi ke angkasa.
            Di sinilah aku berdiri. Di tempat yang sama, di mana aku dan wanitaku pertama kali bertemu. Disebelah pohon maple yang sama di samping trotoar dekat dengan gedung tinggi itu. Kugelar kasur lipatku, aku duduk di atasnya. Kukeluarkan papan tulis bekas paman dulu, kutuliskan namamu dan gambar wajahmu hasil karyaku di tangan kiri. Pada setiap orang yang lewat aku akan berkata, “jika kamu melihat wanita ini, tolong katakan saya ada di sini”. Beberapa mencibir, sebagian lagi mengira aku gila, beberapa orang bahkan ada yang memberikan aku uang. Mereka tidak mengerti! Aku bukan orang gila! Bukan pengemis! Aku hanya pria yang patah hati.
            Walaupun pada akhirnya yang aku lakukan tidak ada gunanya aku akan tetap bertahan di sini. Apa lagi yang dapat kulakukan selain ini?
@@@

            Masih teringat jelas bagaimana aku pertama kali mencintainya. Dia, wanitaku duduk di bawah pohon maple dengan gaun putih selutut dan rambut coklat yang tergerai sebahu membingkai wajahnya dengan sangat apik. Hanya sekilas namun sangat berbekas.
            Setiap sore dia akan mengunjungi pohon itu. Menuliskan entah apa pada buku bersampul pelepah pisang kering yang ia hias dengan bunga marigold warna kuning. Terkadang aku melihatnya menangis. Tapi aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Terlalu muda dan bodoh untuk menghampiri wanita itu.
            Suatu ketika entah atas dorongan nenek moyang dari mana aku menghampirinya.
            “Sekarang kau ingin melihatku dari dekat?” tanyannya. Aku tersentak. Jadi selama ini dia tahu aku memperhatikannya?!
            “Aku... aku..” Aku mulai mengutuki diriku yang selalu gagap di saat penting seperti ini.
            “Namaku Anna, kamu?” dia menatapku dan tersenyum. Ah, senyuman itu selalu bisa melelehkanku.
            “Aku Tino.” Aku sigap duduk di sebelahnya.
            “Jadi apa yang kau lakukan selama ini di sini? Maksudku, selain mengintipiku?”
            Aku malu sekali dia berkata seperti itu. “Aku bekerja di kebun anggur itu.” Aku menunjuk pagar kawat tinggi sebelah utara. “Kamu? Apa yang kamu lakukan?”
            “Aku menulis surat.”
            “Setiap hari? Untuk siapa?”
            “Untuk diriku sendiri.”
            Aku mengenyitkan dahi. “Maksudmu semacam buku harian?”
            “Mungkin.”
            Begitulah pembicaraan pertama kami. Sangat standar, tapi aku sangat menyukai momen ini entah mengapa. Kami mejalin pertemanan di bawah pohon mapel. Bercerita tentang apa yang kami alami sepanjang hari. Mengumpulkan daun maple dan membuat nama kami dengan daun itu. Kadang berlari mengejar kupu-kupu atau memanjat pohon. Sampai suatu ketika aku sadar kalau dia tidak pernah menulis buku harian lagi.
            “Mana buku harianmu?” tanyaku.
            “Aku sudah tidak menulisnya lagi,” jawabnya sambil tersenyum.
            “Kenapa?”
            “Karena aku sudah punya teman sekarang?”
            Lagi-lagi aku mengenyitkan dahi. Dia sedikit misterius. “Memangnya selama ini?”
            Dia tidak menjawab dan pergi begitu saja.
            Esok hari dia tidak datang karena hujan. Hari berikutnya dia tidak datang lagi. Aku bingung, apakah ada kata-kataku yang salah dan membuatnya tersinggung. Aku berniat menyusul ke tempatnya tapi aku tidak tahu di mana. Hutan ini punya banyak jalan dan ia selalu pulang dengan jalan yang berbeda. Tentu saja aku sudah pernah menanyakan di mana rumahnya, tapi lagi-lagi dia diam. Aku tidak pernah menanyakan hal itu lagi padanya.
@@@

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar