PRIA SUDUT KOTA
Oleh
Agnesia Grace
“Jika suatu hari nanti kamu sadar bahwa
kamu merindukan aku.
Kamu tahu di mana aku.
Sampai kamu melihat aku menunggu kamu di
sudut kota.”
Jalanan
ini dulu jalanan setapak, di mana sepatumu akan penuh lumpur di bulan hujan.
Atau kamu akan bersenggolan dengan ilalang nakal. Jika pada pagi hari kamu
melewati jalanan ini, hidungmu akan digelitik dengan bau klorofil. Atau hamparan
bunga marigold kuning dan merah di sisi kananmu serta padang rumput nan hijau
di sisi kirimu. Kamu juga bisa melihat deretan pohon pinus di kejauhan.
Tapi
sekarang lihatlah, jalanan ini bukan lagi jalanan setapak, jalanan ini sudah
diaspal dan bertambah lebar bahkan dapat dilewati tiga bis sekaligus. Tidak ada
lagi pohon pinus, bunga marigold, atau rumput. Sekarang ada restoran siap saji,
beberapa pertokoan barang elektronik, minimarket,
bengkel, juga pom bensin. Sekarang pandanganmu dibatasi oleh gedung penyimpan
uang yang menjulang tinggi ke angkasa.
Di
sinilah aku berdiri. Di tempat yang sama, di mana aku dan wanitaku pertama kali
bertemu. Disebelah pohon maple yang
sama di samping trotoar dekat dengan gedung tinggi itu. Kugelar kasur lipatku,
aku duduk di atasnya. Kukeluarkan papan tulis bekas paman dulu, kutuliskan
namamu dan gambar wajahmu hasil karyaku di tangan kiri. Pada setiap orang yang
lewat aku akan berkata, “jika kamu melihat wanita ini, tolong katakan saya ada
di sini”. Beberapa mencibir, sebagian lagi mengira aku gila, beberapa orang
bahkan ada yang memberikan aku uang. Mereka tidak mengerti! Aku bukan orang
gila! Bukan pengemis! Aku hanya pria yang patah hati.
Walaupun
pada akhirnya yang aku lakukan tidak ada gunanya aku akan tetap bertahan di
sini. Apa lagi yang dapat kulakukan selain ini?
@@@
Masih
teringat jelas bagaimana aku pertama kali mencintainya. Dia, wanitaku duduk di
bawah pohon maple dengan gaun putih
selutut dan rambut coklat yang tergerai sebahu membingkai wajahnya dengan
sangat apik. Hanya sekilas namun sangat berbekas.
Setiap
sore dia akan mengunjungi pohon itu. Menuliskan entah apa pada buku bersampul
pelepah pisang kering yang ia hias dengan bunga marigold warna kuning.
Terkadang aku melihatnya menangis. Tapi aku hanya bisa melihatnya dari
kejauhan. Terlalu muda dan bodoh untuk menghampiri wanita itu.
Suatu
ketika entah atas dorongan nenek moyang dari mana aku menghampirinya.
“Sekarang
kau ingin melihatku dari dekat?” tanyannya. Aku tersentak. Jadi selama ini dia
tahu aku memperhatikannya?!
“Aku...
aku..” Aku mulai mengutuki diriku yang selalu gagap di saat penting seperti
ini.
“Namaku
Anna, kamu?” dia menatapku dan tersenyum. Ah, senyuman itu selalu bisa
melelehkanku.
“Aku
Tino.” Aku sigap duduk di sebelahnya.
“Jadi
apa yang kau lakukan selama ini di sini? Maksudku, selain mengintipiku?”
Aku
malu sekali dia berkata seperti itu. “Aku bekerja di kebun anggur itu.” Aku
menunjuk pagar kawat tinggi sebelah utara. “Kamu? Apa yang kamu lakukan?”
“Aku
menulis surat.”
“Setiap
hari? Untuk siapa?”
“Untuk
diriku sendiri.”
Aku
mengenyitkan dahi. “Maksudmu semacam buku harian?”
“Mungkin.”
Begitulah
pembicaraan pertama kami. Sangat standar, tapi aku sangat menyukai momen ini
entah mengapa. Kami mejalin pertemanan di bawah pohon mapel. Bercerita tentang
apa yang kami alami sepanjang hari. Mengumpulkan daun maple dan membuat nama
kami dengan daun itu. Kadang berlari mengejar kupu-kupu atau memanjat pohon. Sampai
suatu ketika aku sadar kalau dia tidak pernah menulis buku harian lagi.
“Mana
buku harianmu?” tanyaku.
“Aku
sudah tidak menulisnya lagi,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kenapa?”
“Karena
aku sudah punya teman sekarang?”
Lagi-lagi
aku mengenyitkan dahi. Dia sedikit misterius. “Memangnya selama ini?”
Dia
tidak menjawab dan pergi begitu saja.
Esok
hari dia tidak datang karena hujan. Hari berikutnya dia tidak datang lagi. Aku
bingung, apakah ada kata-kataku yang salah dan membuatnya tersinggung. Aku
berniat menyusul ke tempatnya tapi aku tidak tahu di mana. Hutan ini punya
banyak jalan dan ia selalu pulang dengan jalan yang berbeda. Tentu saja aku
sudah pernah menanyakan di mana rumahnya, tapi lagi-lagi dia diam. Aku tidak
pernah menanyakan hal itu lagi padanya.
@@@
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar