Selasa, 28 Oktober 2014

CERBUNG 6: Fiona



Esoknya saya dan Dimas mengunjungi bar yang sama dengan Singgih. Kami tidak yakin apa yang kami rayakan. Kata Dimas ia merayakan kesendiriannya. Kata Singgih ia merayakan artikelnya yang masuk koran (padahal setiap Minggu artikel Singgih masuk koran). Saya sendiri tidak yakin merayakan apa. Dimas dan Singgih menunggu saya memutuskan apa yang harus dirayakan.

“Mengetahui kalau Dimas adalah gay,” sahut saya pada akhirnya. Tapi mata saya melirik Dimas cemas, apakah Dimas akan tersinggung.

Dimas dan Singgih tertawa terbahak-bahak. Oh, itu respon yang melegakan.

Akhirnya gelas kami saling berdentingan. Saya hanya memesan gelas sementara minumannya tetap saya bawa dari rumah. Infused water yang disiapkan Ibu untuk arisan, saya minta sedikit.

Saya melirik Singgih. Saya juga belum yakin apakah Singgih gay atau tidak. Kami saling bertatap. Singgih tampak bingung. Mungkin ekspresi saya terlalu kelihatan mencurigai Singgih. Ah, tapi apa pentingnya orientasi seksual Singgih. Akhirnya saya tetap membiarkan waktu yang menjawab pertanyaan saya.

Dimas menceritakan banyak hal tentang mantan pacarnya dan mantan-mantan sebelumnya. Seumur hidup Dimas baru tiga kali pacaran. Pertama kali saat SMA, hubungan mereka berjalan selama setahun. Putus begitu saja setelah lulus SMA, mereka hilang kontak. Yang kedua, saat kuliah, hubungan mereka cukup lama yaitu tiga tahun. Putus karena Dimas jatuh cinta kepada pria lain. Yaitu pacarnya yang terakhir. Setelah itu pacarnya yang terakhir meninggalkan dia karena laki-laki lain. Ya ampun, karma cepat sekali datangnya.

Saya paham sekarang. LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) menjalin hubungan sama seperti hubungan pada normal umumnya. Saya dulu berasumsi kalau LGBT mau sama siapa saja asal bisa berhubungan seksual.

“Orang brengsek kan ada dimana saja, Rit,” sahut Singgih.

Ya, orang brengsek ada dimana saja. Ada laki-laki yang mau sama perempuan mana pun agar bisa berhubungan seksual. Ada juga perempuan yang mau sama laki-laki mana pun agar kebutuhan seksualnya bisa terpenuhi. Ada gay yang hanya mencintai seorang laki-laki seumur hidupnya. Yang setia bisa ada dimana saja.

“Saya pernah disukai seorang perempuan.”

Dimas dan Singgih terdiam. Mereka menatap saya kemudian bertukar pandangan lalu kembali menatap saya.

“Saya bukan lesbian. Disukai perempuan belum tentu menjadikan saya lesbian, kan?” sahut saya.

Entah mengapa Dimas dan Singgih menghela napas lega. Mereka terkekeh sebentar. Kemudian menatap saya, menunggu saya melanjutkan cerita.

Namanya Fiona. Adik kelas saya waktu SMA. Saya kenal dia karena dia adalah salah satu murid saya. Saya membuka les fisika. Sudah dibilang saya ini jago fisika. Tingginya hanya lebih sesenti dari saya. Rambutnya yang pirang dipotong cepak. Matanya berwarna hijau dengan bulu mata yang lentik. Badannya kurus dan tidak berlekuk. Sangat boyish. Dia cantik sekaligus tampan.

Dia anak yang baik dan juga sangat royal. Sering dia menraktir saya makan dan membelikan saya es krim seusai mengajar. Saya tidak curiga dengan kebaikannya. Ya Tuhan, berani-beraninya saya curiga pada orang baik, pikir saya waktu itu.

Dia suka menghadiahi saya macam-macam. Saat saya berulang tahun dia membelikan topi snap back. Saat natal dia menghadiahi saya jam tangan. Saat dia berlibur ke Australia dia selalu membawakan saya oleh-oleh. Saat valentine dia menghadiahi saya dua kotak besar coklat. Dan saat valentine itu lah saya mulai curiga. Teman-teman saya juga begitu. Tapi lagi-lagi “berani-beraninya saya curiga pada orang baik” selalu terngiang di telinga saya.

Saya tidak berani menaruh curiga pada Fiona. Sejak awal dia bilang dia menganggap saya seperti kakaknya sendiri. Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Fiona anak perempuan satu-satunya. Dan berteman dengan saya katanya memberikan satu pengalaman baru, yaitu punya kakak. Bodohnya saya terharu dibegitukan.

Akhirnya saya mengesampingkan kecurigaan saya. Saya pure menganggap Fiona adik. Saya anak tunggal. Fiona memberikan pengalaman baru juga pada saya, menjadi seorang kakak.

Fiona sering mencubit pipi saya. Saya pikir wajar, saya dan teman-teman perempuan saya juga melakukan hal yang sama. Fiona sering bergelayut manja. Saya pikir wajar, saya dan teman-teman perempuan saya juga melakukan hal yang sama. Fiona sekali memeluk saya. Saya merasa tidak wajar. Meski saya dan teman-teman perempuan saya juga melakukan hal yang sama, rasanya dengan Fiona terasa janggal. Ada yang salah.

Teman-teman saya yang sangat peduli dengan saya melakukan riset pada Fiona. Mencari latar belakang apakah Fiona seorang lesbian atau tidak. Mereka merasa sikap Fiona tidak wajar pada saya. Yah, sebagian memang terasa tidak wajar. Pada akhirnya mereka tidak menemukan apa-apa. Tapi mereka tetap pada hipotesa awal yaitu Fiona seorang lesbian.

Rasanya mengerikan melakukan riset tersebut setelah sebelumnya mendengar curhat Fiona. Dia bilang dia merasa risih dibilang ‘cewek belok’. Dia merasa satu sekolah berbuat tidak adil padanya hanya karena gayanya yang kelaki-lakian. Ah, ketidakadilan.

Saya menceritakan semua curhat Fiona pada teman-teman saya. Saya takut pandangan saya salah pada Fiona. Teman-teman saya malah bilang kalau Fiona hanya memanfaatkan kebaikan saya dengan curhat-curhatnya.

Beberapa hari kemudian teman saya datang pada saya dengan tergesa-gesa. Dia menunjukan ponselnya. Itu twitter Fiona. Astaga yang dia tulis semuanya tentang saya. Setiap tweetnya diakhiri dengan singkatan nama saya RO, Rita Ora. Saya harap yang menulis semua itu adalah laki-laki.

Saya memandang pada Dimas dan Singgih. Mereka masih memandang saya. Gelas mereka sudah penuh lagi. Sementara minuman saya sudah habis. Waktu sudah munjukan pukul sepuluh malam.

“Lalu?” tanya Dimas. Singgih sama bersemangatnya.

“Besok lagi ya ceritanya,” kata saya sambil nyengir.

Mereka melengos. “Duh, nanggung,” sahut mereka bersamaan.

Saya tidak bisa pulang selarut ini. Bukan karena saya perempuan. Persetan dengan perempuan tidak boleh keluar malam. Saya tidak keluar malam karena kasihan Ibu saya sendirian di rumah. Dia pasti khawatir dan kesepian.

Dimas dan Singgih memandang saya dengan gemas. Tapi saya berjanji akan menceritakannya besok. Mereka pun mengiyakan dengan sebal.

Previous
Next

CERBUNG 7: Lanjutan Fiona



Mereka berdua memang bukan lah orang sabar. Buktinya sejam setelah saya sampai rumah Dimas menelepon saya. Menagih cerita. Sudah jam dua belas malam, kalau saya teleponan di kamar rasanya akan mengganggu Ibu. Jadi saya memutuskan untuk ke ruang tamu dan menelepon dengan mereka bertiga. Ya, Singgih juga ikut-ikutan.

Setelah kejadian twitter itu, semua yang wajar mengenai Fiona terasa salah. Saya kecewa. Saya kira saya dianggap kakak beneran ternyata dia melihat saya sebagai orang lain.

Esoknya di sekolah Fiona malah menyebar luaskan kalau saya yang menyukai dia. Satu sekolah memandang saya curiga. Bencana besar! Sampai guru-guru pun mempertanyakan hal tersebut pada saya. Fiona gila! Saya kesal dibuatnya.

Mungkin dia sudah mengetahui kalau identitasanya sudah diketahui. Saya tidak tinggal diam. Saya harus meminta penjelasan dari semua ini.

Saya menjadi benci dan jijik pada sikap Fiona. Saya tidak bisa menerima perasaannya pada saya, tentu. Tapi saya merasa bersalah kalau menjadi benci hanya karena perasaan Fiona yang tidak bisa ia kendalikan. Tidak ada yang salah dengan jatuh cinta kan?

Saya harus bicara. Saya tidak suka memendam semuanya sendirian. Saya bilang pada Fiona sebenarnya Fiona menganggap saya apa? Tapi dia tidak menjawab. Saya tanya apakah dia suka saya dengan cara yang lain? Dia juga tidak menjawab. Saya tanya kenapa dia bilang pada satu sekolah kalau saya yang menyukai dia. Dia menjawab dia merasa saya menyukai dia seperti dia mnyukai saya. Brengsek!

Saya pernah menasehati teman saya yang baru putus dari pacarnya bahwa tidak baik mengembalikan barang-barang pemberian pacar. Kecuali diminta. Sekarang saya malah berniat mengembalikan semua barang pemberian Fiona. Saya merasa tidak menjilat ludah sendiri. Pertama, Fiona bukan pacar saya. Kedua, saya mana tahan lihat barang-barang itu lagi. Geli dan jijik!

Sekali lagi saya tidak marah disukai oleh Fiona. Itu bukan kejahatan. Biarlah Tuhan yang maha adil menghakimi Fiona sendiri. Yang saya tidak suka adalah kebohongan yang ia sebarkan. Kenapa sampai harus mencoreng nama baik saya?! Okelah, teman sekelas saya dan guru-guru yang sangat mengenal saya percaya dengan penjelasan saya. Tapi orang lain bagaimana? Adik kelas dan kakak kelas yang sama sekali tidak kenal saya bisa berpikir yang macam-macam kan?

Persetan orang lain, kata Jimmy. Saya harap saya bisa setidak peduli itu pada orang lain.

“Jadi kalian putus gitu aja, Rit?” tanya Dimas.

“Kok putus sih? Putus kan buat orang yang pacaran, kami tidak!” sahutku kesal.

Terdengar Dimas dan Singgih terkekeh.

“Ya, berhenti berteman saja,” sahutku lagi.

Akhirnya saya memutuskan tidak bertemu dan menolak dihubungi Fiona. Sebagai catatan, sampai sekarang Fiona masih suka menghubungi saya. Tapi tidak saya gubris!

“Gitu aja?” tanya Singgih.

Saya terdiam. Itu adalah jalan terbaik, menurut saya.

Previous

Senin, 22 September 2014

CERBUNG #5: Beer



Dimas mengenalkan saya pada banyak orang. Fotografer terkenal sampai model papan atas. Nama Dimas sudah dikenal di kalangan banyak model. Meski Dimas belum bisa dikategorikan fotografer papan atas tapi hasil foto Dimas selalu memang perlombaan dan hasil fotonya sering dipajang di majalah. Saya juga baru tahu kalau Dimas sering menjadi fotografer untuk akun instagram fashion lokal.

Hari ini Dimas mengajak saya melihat pameran yang ada di pusat kota. Bukan pameran fotografi melainkan pameran arsitektur. Saya kegirangan. Kali ini saya yang seperti anak kecil di taman bermain. Kalap mau main apa. Saya membiarkan Dimas sibuk mengambil gambar sementara saya tenggelam pada foto-foto dan miniatur-miniatur bangunan.

“Seneng kan?” Dimas tiba-tiba sudah ada di samping saya.

Saya mengangguk.

“Ini tidak gratis loh,” sahut Dimas.

“Gampang.” Mood saya sedang baik. Balas budi beginian ke Dimas sih gampang. Ajak aja makan gudeg favoritnya. Beres.

“Aku gak mau gudeg, Rit.” Dimas seperti bisa membaca pikiran saya.

Ah sial! Anak ini pasti minta yang macam-macam. Saya mana ada duit mau traktir Dimas makan lobster atau sushi.

“Temani aku ngebir.” Raut wajahnya memelas.

Saya tidak pernah ke bar mana pun. Tidak pernah minum alkohol. Hanya anggur perjamuan kudus di Gereja yang pernah saya sentuh lainnya tidak pernah. Anggur perjamuan memangnya beralkohol?
Oh, pernah sekali saya mencoba sesendok vodka. Saat itu masih kelas enam SD. Saya penasaran seperti apa rasanya. Vodka itu punya paman yang sedang berkunjung. Saat merasa aman saya cobailah minuan itu. Dan begitu vodka itu menyentuh lidah saya, lidah saya langsung kebas. Saya meringis dan menyesal. Selama dua hari rasa vodka yang pahit dan getir masih terasa di langit-langit mulut saya. Rasa kebasnya masih dapat dibayangkan hingga sekarang. Saya tidak selera makan selama dua hari. Bagaimana orang-orang bisa suka pada minuman begituan. Saya sih lebih suka susu. Minuman para dewa, kata teman SD saya. Hidup susu!

Saya menyanggupi tapi saya sudah bilang sejak awal saya hanya menemani. Dimas pun setuju. Dia yang pesan tempat dan menjemput saya.

Ibu saya heboh ketika tahu ada lelaki yang datang menjemput saya di malam minggu. Dengan girang Ibu mempersilahkan Dimas masuk ke ruang tamu.

Saya tidak pernah pacaran. Ibu tahu dan percaya itu. Ia malah mencurigai saya kalau saya tidak normal. Kadang terkesan memaksa saya pergi keluar di malam minggu. Saya keluar juga setiap malam minggu tapi sendirian dan itu pun ke Gereja untuk ibadah muda-mudi. Religius sekali ya saya? Malam minggu saja ke Gereja.

Aduh, si Dimas dandan pol-polan. Habislah saya dimarahi karena cuma pakai kaus dan celana belel. Saya sudah bilang Dimas hanya teman. Tapi gaya Dimas juga tidak bisa dipercaya, pakai segala bawa bunga. Pasti Ibu kira itu buat saya padahal itu kan dibeli sendiri buat Dimas sendiri. Dia suka bunga hidup di samping meja kerjanya. Bunga sebiji itu pasti sisa-sisanya.

Selama perjalanan Dimas tidak bisa berhenti tertawa dan berhenti mengejek saya. Jomblo lah. Ngenes lah. Tahulah sendiri kata-kata kejam untuk perempuan yang belum pernah pacaran padahal umurnya sudah dua puluh. Saya hanya bisa manyun.

Konstruksi sosial itu kejam. Kenapa juga seseorang harus pacaran. Kenapa juga seseorang harus menikah. Saya sendiri dan saya nyaman. Orang-orang lah yang terkadang risih dengan kesendirian saya. Padahal saya jarang merongrong minta ditemani. Sendiri bukan nasib saya tapi adalah pilihan. Sudah seharusnya orang-orang menghargai pilihan saya. Tapi kali ini biarlah Dimas bersenang-senang mengejek saya.

Dengan Dimas saya menjelajahi tempat-tempat baru. Termasuk bar. Saya agak mendramatisir awalnya. Beginilah rasanya berada di bar, beginilah bentuknya, beginilah baunya. Saya pikir bar itu sama dengan diskotik. Ternyata ruangannya berbeda. Ruang dugem berada di ground floor. Keadaan bar itu tidak jauh berbeda dari café. Padahal saya sudah membayangkan adegan pelacur-pelacur genit yang menggoda pria hidung belang. Saya belum melihatnya dari tadi.

Dimas memesan segelas bir. Saya dengan minuman yang saya bawa dari rumah. Ibu saya pernah bilang kalau di bar semua minuman itu mengandung alkohol, soda sekalipun. Ibu tidak yakin apakah ada air putih di sana. Ibu tidak pernah masuk bar, katanya. Saya percaya itu.

“Saya mau cerita, Rit,” kata Dimas. Ia meneguk birnya.

Wah, Dimas akan mengakui ke saya kalau dia sebenarnya gay!

“Saya baru putus, ah sepertinya dicampakan,” katanya lagi. Ada kesedihan yang mendalam dari nada Dimas.

Saya hanya diam menunggu Dimas melanjutkan ceritanya.

Dia dan pacarnya sudah tiga tahun bersama bahkan tinggal dalam satu apartemen yang sama. Beberapa bulan lalu pacar Dimas pindah ke Singapur karena urusan pekerjaan. Mereka masih berhubungan seperti biasa. Dua minggu sekali mereka saling bertemu. Kadang Dimas yang berkunjung ke Signapur kadang pacarnya yang datang ke sini.

Dimas tidak merasa ada masalah dalam hubungan mereka. Dua minggu lalu tiba-tiba saja pacarnya minta putus via telepon. Dimas bilang bahwa tidak baik membicarakan hal seperti ini dari telepon. Dimas minta bertemu tapi pacarnya menolak. Katanya tidak mau lihat Dimas lagi.

Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa hari yang lalu Dimas melihat pacaranya sudah jalan dengan orang lain. Tahulah Dimas bahwa memang tidak ada yang salah dengan Dimas. Hanya pacarnya sudah mencintai orang lain. Dimas bilang dia begitu mencintai pacarnya dan menjaga hati untuk pacarnya. Ternyata pacarnya tidak begitu.

Duh, jadi teringat dengan Jimmy.

Ini sudah gelas ke tiga. Setiap tegukan Dimas mengingatkan saya pada rasa vodka yang kebas di lidah itu. Kuat sekali dia minum.

“Pacarmu itu laki-laki atau perempuan?” Berani-beraninya saya bertanya hal ini pada Dimas. Dia yang minum kok saya yang mabuk.

“Yaa laki-lakilah,” sahut Dimas enteng. Seperti sudah sewajarnya dia pacaran dengan laki-laki.

Saya malah kikuk merasa bersalah.

“Oh, ya, kamu belum tahu ya kalau aku gay?” sahutnya lagi sedikit terkekeh.

Aku menggeleng. Maksudnya tidak juga, tapi biarlah Dimas menganggapnya sebagai jawaban tidak.

Previous