Esoknya saya dan Dimas mengunjungi bar yang sama
dengan Singgih. Kami tidak yakin apa yang kami rayakan. Kata Dimas ia merayakan
kesendiriannya. Kata Singgih ia merayakan artikelnya yang masuk koran (padahal
setiap Minggu artikel Singgih masuk koran). Saya sendiri tidak yakin merayakan
apa. Dimas dan Singgih menunggu saya memutuskan apa yang harus dirayakan.
“Mengetahui kalau Dimas adalah gay,” sahut saya pada
akhirnya. Tapi mata saya melirik Dimas cemas, apakah Dimas akan tersinggung.
Dimas dan Singgih tertawa terbahak-bahak. Oh, itu
respon yang melegakan.
Akhirnya gelas kami saling berdentingan. Saya hanya
memesan gelas sementara minumannya tetap saya bawa dari rumah. Infused water yang disiapkan Ibu untuk
arisan, saya minta sedikit.
Saya melirik Singgih. Saya juga belum yakin apakah
Singgih gay atau tidak. Kami saling bertatap. Singgih tampak bingung. Mungkin
ekspresi saya terlalu kelihatan mencurigai Singgih. Ah, tapi apa pentingnya
orientasi seksual Singgih. Akhirnya saya tetap membiarkan waktu yang menjawab
pertanyaan saya.
Dimas menceritakan banyak hal tentang mantan
pacarnya dan mantan-mantan sebelumnya. Seumur hidup Dimas baru tiga kali
pacaran. Pertama kali saat SMA, hubungan mereka berjalan selama setahun. Putus
begitu saja setelah lulus SMA, mereka hilang kontak. Yang kedua, saat kuliah,
hubungan mereka cukup lama yaitu tiga tahun. Putus karena Dimas jatuh cinta
kepada pria lain. Yaitu pacarnya yang terakhir. Setelah itu pacarnya yang
terakhir meninggalkan dia karena laki-laki lain. Ya ampun, karma cepat sekali
datangnya.
Saya paham sekarang. LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) menjalin hubungan sama seperti
hubungan pada normal umumnya. Saya dulu berasumsi kalau LGBT mau sama siapa
saja asal bisa berhubungan seksual.
“Orang brengsek kan ada dimana saja, Rit,” sahut Singgih.
Ya, orang brengsek ada dimana saja. Ada laki-laki
yang mau sama perempuan mana pun agar bisa berhubungan seksual. Ada juga
perempuan yang mau sama laki-laki mana pun agar kebutuhan seksualnya bisa
terpenuhi. Ada gay yang hanya mencintai seorang laki-laki seumur hidupnya. Yang
setia bisa ada dimana saja.
“Saya pernah disukai seorang perempuan.”
Dimas dan Singgih terdiam. Mereka menatap saya
kemudian bertukar pandangan lalu kembali menatap saya.
“Saya bukan lesbian. Disukai perempuan belum tentu
menjadikan saya lesbian, kan?” sahut saya.
Entah mengapa Dimas dan Singgih menghela napas lega.
Mereka terkekeh sebentar. Kemudian menatap saya, menunggu saya melanjutkan
cerita.
Namanya Fiona. Adik kelas saya waktu SMA. Saya kenal
dia karena dia adalah salah satu murid saya. Saya membuka les fisika. Sudah
dibilang saya ini jago fisika. Tingginya hanya lebih sesenti dari saya.
Rambutnya yang pirang dipotong cepak. Matanya berwarna hijau dengan bulu mata
yang lentik. Badannya kurus dan tidak berlekuk. Sangat boyish. Dia cantik sekaligus tampan.
Dia anak yang baik dan juga sangat royal. Sering dia
menraktir saya makan dan membelikan saya es krim seusai mengajar. Saya tidak
curiga dengan kebaikannya. Ya Tuhan, berani-beraninya saya curiga pada orang
baik, pikir saya waktu itu.
Dia suka menghadiahi saya macam-macam. Saat saya
berulang tahun dia membelikan topi snap
back. Saat natal dia menghadiahi saya jam tangan. Saat dia berlibur ke
Australia dia selalu membawakan saya oleh-oleh. Saat valentine dia menghadiahi saya dua kotak besar coklat. Dan saat
valentine itu lah saya mulai curiga. Teman-teman saya juga begitu. Tapi
lagi-lagi “berani-beraninya saya curiga
pada orang baik” selalu terngiang di telinga saya.
Saya tidak berani menaruh curiga pada Fiona. Sejak
awal dia bilang dia menganggap saya seperti kakaknya sendiri. Dia anak kedua
dari tiga bersaudara. Fiona anak perempuan satu-satunya. Dan berteman dengan
saya katanya memberikan satu pengalaman baru, yaitu punya kakak. Bodohnya saya
terharu dibegitukan.
Akhirnya saya mengesampingkan kecurigaan saya. Saya pure menganggap Fiona adik. Saya anak
tunggal. Fiona memberikan pengalaman baru juga pada saya, menjadi seorang
kakak.
Fiona sering mencubit pipi saya. Saya pikir wajar,
saya dan teman-teman perempuan saya juga melakukan hal yang sama. Fiona sering
bergelayut manja. Saya pikir wajar, saya dan teman-teman perempuan saya juga
melakukan hal yang sama. Fiona sekali memeluk saya. Saya merasa tidak wajar.
Meski saya dan teman-teman perempuan saya juga melakukan hal yang sama, rasanya
dengan Fiona terasa janggal. Ada yang salah.
Teman-teman saya yang sangat peduli dengan saya
melakukan riset pada Fiona. Mencari latar belakang apakah Fiona seorang lesbian
atau tidak. Mereka merasa sikap Fiona tidak wajar pada saya. Yah, sebagian
memang terasa tidak wajar. Pada akhirnya mereka tidak menemukan apa-apa. Tapi
mereka tetap pada hipotesa awal yaitu Fiona seorang lesbian.
Rasanya mengerikan melakukan riset tersebut setelah
sebelumnya mendengar curhat Fiona. Dia bilang dia merasa risih dibilang ‘cewek
belok’. Dia merasa satu sekolah berbuat tidak adil padanya hanya karena gayanya
yang kelaki-lakian. Ah, ketidakadilan.
Saya menceritakan semua curhat Fiona pada
teman-teman saya. Saya takut pandangan saya salah pada Fiona. Teman-teman saya
malah bilang kalau Fiona hanya memanfaatkan kebaikan saya dengan curhat-curhatnya.
Beberapa hari kemudian teman saya datang pada saya
dengan tergesa-gesa. Dia menunjukan ponselnya. Itu twitter Fiona. Astaga yang
dia tulis semuanya tentang saya. Setiap tweetnya diakhiri dengan singkatan nama
saya RO, Rita Ora. Saya harap yang menulis semua itu adalah laki-laki.
Saya memandang pada Dimas dan Singgih. Mereka masih
memandang saya. Gelas mereka sudah penuh lagi. Sementara minuman saya sudah
habis. Waktu sudah munjukan pukul sepuluh malam.
“Lalu?” tanya Dimas. Singgih sama bersemangatnya.
“Besok lagi ya ceritanya,” kata saya sambil nyengir.
Mereka melengos. “Duh, nanggung,” sahut mereka
bersamaan.
Saya tidak bisa pulang selarut ini. Bukan karena
saya perempuan. Persetan dengan perempuan tidak boleh keluar malam. Saya tidak
keluar malam karena kasihan Ibu saya sendirian di rumah. Dia pasti khawatir dan
kesepian.