Selasa, 30 April 2013

Surat untuk .....

Surat untuk .....
Aku tidak tahu menamaimu apa? Terlalu sakit rasanya menyebutmu teman, tapi terlalu pengecut untuk menyebutmu kekasih.
Hari ini membuat aku gila. Dan aku baru tersadar kalau aku akan kehilanganmu setelah aku keluar dari gerbang ini.
Aku tidak mengerti mengapa aku begitu tergila-gila padamu. Jujur saja waktu itu aku menyukaimu (menceritakan pada setiap orang yang aku temui bahwa aku menyukaimu) hanya sebagai alasan agar rasa ditolak habis-habisan oleh lelaki jahanam tidak begitu ketara. Atau agar si lelaki merasa gagal telah menyakitiku. Nyatanya tidak. Intinya, kamu hanya dijadikan bahan pelarian terhadap dia yang sampai detik ini tidak pernah kutegur sapa karena pertama aku seorang pendendam, yang kedua karena seluruh sikapnya cukup sebagai alasan agar aku menjauhinya.
Ketika aku bersyukur kepada Tuhan karena akhirnya kita sekelas semua itu hanya akting. Mau tahu yang sebenarnya? Aku mengumpat dalam hati. Butuh tenaga ekstra menekan rasa maluku atas akting berlebihanku padamu.
Setelah itu apa yang terjadi? Aku malah terjebak pada dirimu. Mulanya aku memperhatikanmu, kemudian mengagumi segala kebodohanmu, mulai mengesampingkan poin-poin negatifmu. Ya, aku kena karma. Karena takut apa yang kurasakan tersebar (lagi) ke seluruh dunia aku pura-pura mendekati temanmu. Berpura-pura lebih sangat terhibur ketika bersamanya dari pada denganmu. Dan kemudian aku berpura-pura jatuh cinta pada adik kelas. Pembohong, sebut saja aku seperti itu. Semakin aku menyangkal semakin aku terjebak pada sosokmu.
Kalau ada yang bertanya mengapa aku tidak mengakui saja kalau aku menyukaimu meski dalam hati agar hidupku lebih nyaman? Kuberitahu alasannya. Aku ini orang yang sombong. Kamu itu jauh dari standart tipe yang aku buat. Kamu terlalu putih, terlalu kurus, terlalu berantakan, terlalu bodoh, dan kamu secara sifat terlalu sama denganku. Aku juga takut kalau ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan. Makanya aku menyangkal, sampai saat ini saja aku masih tidak percaya bahwa kamu adalah orang pertama yang paling takut aku tinggalkan semenjak kelulusan.
Aku sangat dungu ketika jatuh cinta padamu. Tapi justru kedunguan itu membuatku merasa normal. Mencintaimu adalah kebodohan dan aku menyukainya, lalu kenapa?!
Jangan terlalu bangga. Kadang-kadang aku merasa sangat membencimu, tidak mau melihat wajahmu. Entah mengapa terkadang kamu mirip dengan seseorang yang namanya tidak bisa aku sebut. Dan orang yang namanya tidak bisa aku sebut adalah orang yang paling aku benci. Tapi itulah kehidupan selalu ada naik turun. Biar tidak monoton.
Hari ini apakah hanya sampai di sini? Dua tahun aku menyukaimu. Dua tahun juga menyangkalmu. Dan apakah aku juga tidak akan pernah tahu bagaimana sebenarnya isi hatimu padaku? Menyesalkah aku? Kurasa iya, karena aku tidak pernah berusaha sedikit pun, malah sikapku yang suka menutup-nutupi mungkin membingungkanmu. Entahlah. Kalau pun aku akan menyesal, aku akan bersikap legowo. Mukin memang seperti ini cerita kita. Ah, mungkin ceritaku saja. Cinta tanpa kata. Seperti iman tanpa perbuatan.
Sebelum keluar dari gerbang kamu mendahuluiku dengan diammu tanpa menoleh sedikit pun. Kamu marah besar di detik terakhir perjumpaan kita. Seakan kamu sudah siap berpisah dengan semuanya. Rasanya sakit, seperti orang yang baru saja diputuskan. Tapi sekali lagi aku terlalu pandai menutup-nutupi.
Selamat tinggal lelaki yang masih bingung aku sebutkan gelarnya. Semoga hidupmu mudah, mudah mendapatkan cita-cita atau cinta. Maaf kalau hari terakhir kita bersama malah aku rusak. Terimakasih sudah pernah ada dalam kehidupanku meski kamu tidak pernah menyadarinya.


Medan, 4 April 2013
Dari si Pengecut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar