Surat untuk .....
Aku tidak tahu menamaimu apa? Terlalu
sakit rasanya menyebutmu teman, tapi terlalu pengecut untuk menyebutmu kekasih.
Hari ini membuat aku gila. Dan aku baru
tersadar kalau aku akan kehilanganmu setelah aku keluar dari gerbang ini.
Aku tidak mengerti mengapa aku begitu
tergila-gila padamu. Jujur saja waktu itu aku menyukaimu (menceritakan pada
setiap orang yang aku temui bahwa aku menyukaimu) hanya sebagai alasan agar
rasa ditolak habis-habisan oleh lelaki jahanam tidak begitu ketara. Atau agar
si lelaki merasa gagal telah menyakitiku. Nyatanya tidak. Intinya, kamu hanya
dijadikan bahan pelarian terhadap dia yang sampai detik ini tidak pernah
kutegur sapa karena pertama aku seorang pendendam, yang kedua karena seluruh
sikapnya cukup sebagai alasan agar aku menjauhinya.
Ketika aku bersyukur kepada Tuhan karena
akhirnya kita sekelas semua itu hanya akting. Mau tahu yang sebenarnya? Aku
mengumpat dalam hati. Butuh tenaga ekstra menekan rasa maluku atas akting
berlebihanku padamu.
Setelah itu apa yang terjadi? Aku malah
terjebak pada dirimu. Mulanya aku memperhatikanmu, kemudian mengagumi segala
kebodohanmu, mulai mengesampingkan poin-poin negatifmu. Ya, aku kena karma.
Karena takut apa yang kurasakan tersebar (lagi) ke seluruh dunia aku pura-pura
mendekati temanmu. Berpura-pura lebih sangat terhibur ketika bersamanya dari
pada denganmu. Dan kemudian aku berpura-pura jatuh cinta pada adik kelas.
Pembohong, sebut saja aku seperti itu. Semakin aku menyangkal semakin aku
terjebak pada sosokmu.

Aku sangat dungu ketika jatuh cinta
padamu. Tapi justru kedunguan itu membuatku merasa normal. Mencintaimu adalah
kebodohan dan aku menyukainya, lalu kenapa?!
Jangan terlalu bangga. Kadang-kadang aku
merasa sangat membencimu, tidak mau melihat wajahmu. Entah mengapa terkadang
kamu mirip dengan seseorang yang namanya tidak bisa aku sebut. Dan orang yang
namanya tidak bisa aku sebut adalah orang yang paling aku benci. Tapi itulah
kehidupan selalu ada naik turun. Biar tidak monoton.
Hari ini apakah hanya sampai di sini?
Dua tahun aku menyukaimu. Dua tahun juga menyangkalmu. Dan apakah aku juga
tidak akan pernah tahu bagaimana sebenarnya isi hatimu padaku? Menyesalkah aku?
Kurasa iya, karena aku tidak pernah berusaha sedikit pun, malah sikapku yang
suka menutup-nutupi mungkin membingungkanmu. Entahlah. Kalau pun aku akan
menyesal, aku akan bersikap legowo.
Mukin memang seperti ini cerita kita. Ah, mungkin ceritaku saja. Cinta tanpa
kata. Seperti iman tanpa perbuatan.
Sebelum keluar dari gerbang kamu
mendahuluiku dengan diammu tanpa menoleh sedikit pun. Kamu marah besar di detik
terakhir perjumpaan kita. Seakan kamu sudah siap berpisah dengan semuanya.
Rasanya sakit, seperti orang yang baru saja diputuskan. Tapi sekali lagi aku
terlalu pandai menutup-nutupi.
Selamat tinggal lelaki yang masih
bingung aku sebutkan gelarnya. Semoga hidupmu mudah, mudah mendapatkan
cita-cita atau cinta. Maaf kalau hari terakhir kita bersama malah aku rusak.
Terimakasih sudah pernah ada dalam kehidupanku meski kamu tidak pernah
menyadarinya.
Medan, 4 April 2013
Dari si Pengecut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar