Selasa, 12 Agustus 2014

PERGI UNTUK KEMBALI

Dunia memiliki banyak orang-orang hebat. Sampai suatu ketika, kehilangan orang-orang hebat ini membuat saya gelisah.
Beberapa tokoh yang saya kagumi adalah Bill Gates dan Sir Alex Ferguson. Dua orang dengan kepribadian dan bagian dari pekerjaan mereka yang sangat berbeda. Bill Gates di teknologi sementara Sir Alex Ferguson di sepak bola. Saya tidak yakin apakah keduanya pernah bertemu.
Suatu hari saya berpikir bagaimana jika Bill Gates meninggal? Bagaimana jika Alex Ferguson meninggal? Siapa yang akan meneruskan pekerjaan mereka? Karena tidak ada satu pun orang yang lebih mengetahui pekerjaan mereka selain mereka sendiri.
Bagi saya, ada beberapa persamaan dari mereka. Mereka seorang penemu dan tampan. Penemu. Mereka yang pertama menemukannya. Mereka yang menjalankannya dan bagaimana mereka mengakhirinya.
Mari bahas terlebih dahulu mengenai Sir Alex Ferguson. Tokoh yang sangat saya puja. Saat mengatakan ‘puja’ saya sungguh memujanya. Bahkan melihat fotonya saja, ada yang bergerak di hati saya. Dia dapat menginspirasi hanya dengan sebuah gambar.
Tanpa mengurangi rasa hormat, biarkan saya menyebutkan Sir Alex Ferguson dengan ‘dia’ bukan ‘beliau’.
Lalu datang kabar bahwa dia akan mengundurkan diri. Pertama kali dia menyatakan akan mengundurkan diri waktu saya kelas 1 SD. Saya tidak mengerti apa arti dari sebuah pengunduran diri pada waktu itu.
Hari-hari itu datang lagi. Sebelas tahun kemudian ia melakukan hal yang sama. Dia telah memutuskan untuk mengundurkan diri. Kenyataan yang terlalu buruk buat saya terima. Bahkan pikiran terliar saya berkata, “minumlah apa saja atau lakukan apa saja agar kau tidak lelah”. Saya menjadi sedikit histeris. Bagaimana dengan klub? Bagaimana dengan saya? Saya mencintai klub ini sejak kecil karena Anda? Saya merasa dikhianati. Dengan egois mengesampingkan bahwa Sir Alex Ferguson sudah tua dan tidak seprima dulu. Dia benar-benar sudah tua.
Saya sangat sedih dan masih sempat berharap bahwa dia mungkin akan mengubah kembali keputusannya. Teryata tidak. Ini adalah momentum yang tepat baginya tapi tidak bagi saya.
Melihat banyak kekalahan yang dialami klub, saya sangat kecewa dan menyalahkan Sir Alex Ferguson, “ini semua gara-gara Anda, kakek tua!” kemudian mengutuki manajer baru.
Saya berpikir teknologi sekarang sudah sangat canggih, tidakkah dia bisa abadi?
Lalu dia membuat autobigrafi. Saya masih marah padanya. Narsistik, pikir saya. Membuat autobiografi? Mengapa tidak membiarkan orang lain yang membuatnya? Anda kan bisa sedikit mengintervensi apa yang orang lain tulis atau menambahkan beberapa (jika perlu). Beberapa tokoh lain melakukannya.
Saya membacanya dan mulai paham (pada akhirnya) mengapa dia memutuskan untuk pergi dari klub. Dia sudah tua, itu fakta. Dan tentang kakak istrinya yang meninggal saya rasa itu adalah momentum dimana dia akhirnya benar-benar harus bekeluarga dan meninggalkan sepak bola.
Kami pendukung klub ini mungkin sangat egois, para pemain dan staf juga begitu. Memaksa harus menemuimu setiap hari sementara istri, anak, dan cucu-cucumu belum tentu mendapatkan waktu sebanyak yang kau berikan pada sepak bola.
Saya akhirnya sadar, orang hebat akan menciptakan orang-orang hebat lainnya kalau dia memberi ruang bagi yang lain untuk menjadi hebat. Dia juga merelakan salah satu yang paling berharga dalam hidupnya. Dia menaruh kepercayaan bahwa setelahnya harus ada orang-orang hebat lainnya yang bisa melebihi dia. Harus. Dan itu bukan bentuk dari segala keegoisan.
Saya yang menunggu pertandingan hanya agar bisa melihat dia sedikit. Berharap ada sedikit kericuhan di lapangan sehingga tv bisa menyorotnya, atau hanya menonton bagian akhir dari pertandingan karena dia paling sering disorot pada saat-saat itu. Fergie Time.
Sekarang saya hanya bisa mengenangnya dalam sebuah buku dan video youtube. Tidak ada lagi Sir Alex Ferguson dalam lapangan. Tapi saya tetap mencintai klub sebagaimana dia mengorbankan segala sesautu untuk klub.
Kesadaran bahwa orang-orang hebat akan menjadi tidak hebat jika mereka tidak berhenti. Kepercayaan, ketepatan waktu, dan keikhlasan telah menjadi bagian dari akhir yang sempurna untuk orang-orang hebat.
Jadi, jika suatu saat Bill Gates memutuskan untuk pensiun atau hal terburuk yang terjadi adalah kematian. Saya yakin dia percaya bahwa ada penerus yang hebat, waktunya telah tepat, dan hatinya telah ikhlas memberi apa yang sudah dia bangun.
Kegelisahan yang sekarang saya alami adalah dapatkah generasi muda berkakhir hebat? Dapatkah kami atau layakkah kami menggantikan posisi orang-orang hebat tersebut?